Saya cenderung menyebut dua kata di atas sebagai umpan balik, alih-alih umpatan. Sebagai pengingat bagi seseorang agar terjauh dari gabungan dua kata di atas. Sok suci : merasa diri suci padahal tidak suci sama sekali. Mana ada manusia di dunia ini yang suci kecuali para Nabi ?
Dua kata itu sering terlempar, secara eksplisit tulisan dan lisan, maupun implisit dalam hati dan keluar dalam bentuk lirikan mata atau senyuman kecut.
Dan itulah salah satu reaksi normal manusia dalam menerima nasihat. Nasihat itu sendiri pada hakikatnya adalah baik. Nasihat adalah kemuliaan, ia penjaga keutuhan kemanusiaan, sistem koreksi internal manusia yang sangat berbahaya bila ditinggalkan. Ia bentuk dasar kasih sayang seseorang kepada yang lain agar tatanan masyarakat sopan terjaga tak jatuh ke dalam kekacauan.
Hanya saja nasihat selalu bersinggungan dengan ego manusia. Normalnya manusia membenci kritik. Ada pernyataan ketidakberdayaan dirinya di mata manusia lain, walaupun mungkin ia memang layak dan wajib dinasihati.
Manusia yang layak menerima nasihat ada tiga :
I Orang tidak tahu yang menyadari ketidaktahuannya.
II Orang tidak tahu tapi merasa tahu ( sok tahu )
III Orang tidak tahu tapi tidak menyadari ketidaktahuannya.
Tipe pertama biasanya mudah menerima nasihat, dia sadar mesti banyak belajar.
Nah, ungkapan ( sok suci ) biasanya terlempar dari tipe kedua dan terakhir, tapi tentu tergantung pada cara penyampaian nasihatnya. Ini yang penting. Walaupun nasihat tetaplah nasihat, baik disampaikan dengan halus maupun kasar. Orang dibangunkan dari tidur bisa dengan cara dibisiki mesra, diguncang kakinya, diteriaki, atau disiram air, intinya sama : dibangunkan. Dia akan terbangun, bedanya ada yang terbangun bahagia, dongkol, pusing, bahkan malah marah-marah.
Maka cara penyajian adalah elemen penting dari nasihat. Bagaimana supaya enak diterima orang, tidak kecut, tidak bikin marah atau bahkan bikin orang lari terbirit-birit sambil pegang sandal.