Mohon tunggu...
E Fidiyanto
E Fidiyanto Mohon Tunggu... Jurnalis - Wartawan Muda

Menulis dengan Hasrat

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Nyanyian Kentrung

18 Desember 2018   21:38 Diperbarui: 18 Desember 2018   22:07 120
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Lagi-lagi anak korban eksploitasi di dekat lampu merah kota. Anak lelaki kecil tengah duduk dengan kaki telungkup. Tangannya melingkar memeluk lutut yang berbedak debu. 

Di pojokan kios yang mungkin bangkrut lantaran selalu tutup. Empernya berdebu. Banyak sampah plastik. Wajahnya tak terlihat, ia menghadap arah Kali Pemali. Tak jauh dari jembatan. Kuhampiri bocah cilik itu. Kutepuk pundaknya. Ia menoleh. Rupanya tengah menangis, entah apa sebabnya. Ia menyapu air matanya dengan tangannya penuh debu. Bahkan, sudah bercampur keringat. Mengerak jadi daki. "Hei, kenapa menangis?" tanyaku. Ia menggeleng. Ia menata bajunya yang compang-camping. Ia mengajakku bersalaman.

Bocah itu kira-kira baru dua belas tahun. Bocah berkaos merah itu kuajak makan soto babat di warung pinggiran alun-alun. Ia menenteng gitar mungilnya. Hanya berjejer empat senar. Rupanya, hampirlah penuh satu hari ia tak makan. Pantas saja, sedari tadi wajahnya mendung dipangku lapar. Saat kutanya, orangtuanya sudah lama pisah. Lantas ia menggelandang lantaran tak ada yang mengurus.

Anak sekecil itu sudah paham bagaimana rumitnya persoalan. Anak yang demikianlah, yang tak kenal malu. Sebab garis hidupnya sudah akrab dengan kerasnya kehidupan. Hampir saban hari ia nyanyikan tembang kentrung yang kental dengan berbagai kritikan. "Aku nggak peduli, semua yang aku nyanyikan memang kenyataan." katanya. Hari ini baginya tak seperti biasa, kawan-kawan jalanan tak nampak batang hidungnya. Hingga ia menanggung lapar di emperan kios yang suwung.

Andaikan, orang-orang kaya di sini sedia jadi orangtua asuh anak jalanan tentu dunia tak serepot ini. Mereka selalu dipandang sampah, sebetulnya menyimpan jutaan cerita getir dalam hidupnya. Namun, bagaimana pun orang masa bodoh dengan semua itu. Segelintir, bahkan hitungan jari orang yang sedia mendekati mereka. Apalagi mengajaknya ngobrol. Dunia tak sudi atas kehadirannya. Selalu dianggap sampah jalanan. Akrab dengan emperan kios dan trotoar, yang membuat mereka lupa rasanya kasih sayang.

Kusisihkan uangku meski pas-paskan. Aku mengajaknya ke toko sembako. Kubelikan perlengkapan dagang asongan. Rokok, tisu, minuman dan lainnya. Kubuatkan kotak dengan kardus bekas dengan tali dari sabuk yang melingkar di pinggangku. Pikirku, mungkin ini sedikit membantunya. Kubiarkan ia berjualan dengan mengetuk kaca mobil di sekitaran lampu merah. Inikah eksploitasi? Silakan anggap apa saja, ini sedikit lebih baik untuk pelan-pelan mengembalikan haknya yang dirampas.

Aku teringat Zubaidah saat duduk di alun-alun dan berpisah dengan si bocah tadi. Kutunggu ia di sini. Paling-paling tak lama juga mengajak makan. Tak lama aku ngerasani, dia nongol. Tak biasanya ia pulang secepat ini dari toko roti. Ia melangkah cepat ke arahku yang duduk di teras bawah pohon ketapang. Tempat langgananku. Ia menggendong anaknya. Tangan kanannya menenteng tas warna hitam. Matanya nyalang. Semakin mendekat. Tekstur pipinya menampakkan perbedaan. Ya, gigi gerahamnya beradu saling menekan. Tepat di depan mukaku. "Ke mana saja?" mukanya judes. Santai aku menjawab, "Ya biasa, kerja. Hari Minggu aku piknik."
"Sama Anita, kan?" Ia menegaskan.
Aku mengangguk. Batinku, biarkan saja marah. "Oh... pantes!"

Mulanya, ia banyak diam saat pertemuan kali ini. Namun suasana menjadi cair tatkala kuajak bergurau. Tak mungkin pula ia murung di depan anaknya yang penurut. Zidan selalu minta dipangku jika bertemu denganku. Di usia yang hampir empat tahun ini, mungkin ia rindu dengan bapaknya yang dulu meninggalkan semenjak dirinya baru bisa lari. Kini Zidan pun sangat rapi. Giginya yang dulu pongah, kini sudah tumbuh dan rata lagi.
Keluarga kecil itu memang membutuhkan sosok ayah yang sangat dirindukan. Kehadirannya sangat dinantikan. Bahkan, Zubaidah pun masih setia menanti kepulangannya yang dirinya pun tak pernah tahu sampai kapan.

Kedekatannya denganku, bukan untuk menggantikan posisinya. Ia hanya mengisi waktu luangnya untuk saling berbagi denganku. Namun, aku pun heran atas kecemburuannya jika aku dekat dengan wanita lain. Ah, entahlah apa yang ada di pikiran Zubaidah tentu tak sama dengan yang kupikirkan. Satu hal yang menjadi dasar bagiku, tetap menjaga hubungan baik sampai kapan pun. Kedekatan yang bermula dari niat baik jangan sampai dinodai dengan segala kebencian bila semua harapan tak pernah jadi nyata. Namun, kadang semua orang memaksa kenyataan untuk berpihak kepadanya.

Sampai pada waktu petang obrolanku dengan Zubaidah di alun-alun kota. Lampu-lampu mulai menyala. Juga di gerbang pendapa menyala warna-warni. Pedagang di sekitaran alun-alun mulai sibuk. Seketika alun-alun menyerupai pasar. Layaknya magnet, menjelang petang orang-orang berdatangan. Ada yang sekedar nongkrong, pacaran, dan melepas penat setelah seharian sibuk dengan rutinitasnya.

Satu pemandangan yang belum hilang ialah, masih banyaknya perempuan peminta-minta. Seorang balita sebagai magnet rasa iba. Ada pula, seorang lelaki muda yang menuntun lelaki tua buta menggandeng tangannya, menengadah. Pemandangan ini sudah jadi sebuah kewajaran. Beruntunglah Zubaidah yang berhasil lepas masa lalunya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun