Kebocoran dan Diplomasi Tidak Transparan
Heboh terkait "situs pembocoran"-WikiLeaks-ternyata masih berlanjut. Isi bocoran semakin beragam dan semakin "panas". Tajuk Rencana Kompas (9/12/2010) mencatat bahwa dokumen yang sudah dibocorkan mencapai 251.287, dengan 11.000 di antaranya termasuk dalam kategori rahasia. Walaupun apa yang terungkap dalam bocoran itu belum tentu menjadi sikap resmi atau kebijakan final pemerintah Amerika Serikat, namun fenomena bocoran itu memberikan kita suatu pelajaran lain yang penting.
Di dalam fenomena pembocoran ini, selain isi dan proses atau teknologi pembocoran, hal menarik yang bisa disimak adalah orang-orang yang terlibat, baik dalam isi bocoran maupun mereka yang membocorkan. Orang yang terlibat dalam isi bocoran-entah pengirim informasi atau dokumen tersebut maupun penerimanya-menunjukan kualitas karakter tertentu. Sementara itu, mereka yang berniat membocorkan-termasuk Julian Assange, bos WikiLeaks-menunjukkan hal lain yang lagi: alasan urgensi pembocoran.
Dari segi karakter orang-orang yang disebut dalam isi bocoran, juga termasuk si pengirim informasi, kita terperangah jika melihat bagaimana mereka memberi predikat atau penilaian yang sangat berbeda dari apa yang sering muncul sebagai pernyataan resmi di media massa. Paling mencolok adalah bagaimana pemberi informasi atau pihak ketiga pemberi informasi memersepsikan kepribadian pemimpin suatu negara.  Ada beberapa yang menarik terkait dengan hal ini. Misalnya, pemberi informasi memersepsikan Presiden Rusia, Vladimir Putin, sebagai Batman, sementara perdana menterinya sebagai Robin. Selain itu, Silvio Berlusconi, Perdana Menteri Italia, dan Angela Merkel, Kanselir Jerman, dipersepsikan sebagai sebagai orang-orang yang tidak dapat dipercaya, lemah dan tidak kapabel.
Terbayang bagaimana suatu jamuan makan malam atau standing party yang diadakan di kedutaan-kedutaan besar Amerika di seluruh dunia, yang di dalamnya para diplomat dengan sopan dan ramah saling bertegur sapa dan tersenyum. Tentu semua orang tahu bahwa itu adalah suatu "table manner" yang sudah sepantasnya. Namun, WikiLeaks membocorkan satu hal penting: aksi tegur sapa penuh keramahan itu hanyalah suatu kamuflase atau topeng belaka. Mereka yang tampaknya saling memuji dan menghormati dengan kata-kata penuh sopan santun itu menyembunyikan penilaian atau opini yang boleh jadi sangat bertolak belakang dengan apa yang muncul secara kasat mata.
Di samping "diplomasi kamuflase" atau "diplomasi topeng" itu, hal menarik lain adalah alasan yang digunakan WikiLeaks-atau para pendukungnya-dalam membocorkan informasi-informasi tersebut. Alasan transparansi adalah yang sering dipakai. Mereka menuntut dan mempertanyakan transparansi dari para pelaku "diplomasi kamuflase" tersebut-mereka seolah-olah menuntut diplomasi yang transparan ketimbang diplomasi yang tidak transparan.
Terlepas dari konteks diplomasi dan politik luar negeri, kedua hal tersebut, karakter yang tidak transparan dan tuntutan transparansi bagi kepentingan publik, menarik untuk disimak karena penting dalam konteks Indonesia. Dalam kasus korupsi atau kasus hukum lainnya, masyarakat sering mempertanyakan transparansi proses penanganannya. Ambil contoh, kasus Gayus. Masyarakat butuh transparansi: dari mana saja asal uang yang ada di dalam rekening Gayus. Drama panjang yang sampai berbuntut dengan terbongkarnya fakta bahwa Gayus ternyata sering meninggalkan rumah tahanan hanya membuat banyak orang mencibir dan berolok-olok-terutama foto Gayus yang mengenakan wig ketika menonton tenis di Bali. Kita sering berhenti di situ, tanpa menuntut lebih jauh mengenai aspek transparansi dari fakta-fakta tersebut.
Budaya Transparansi
Warren Bennis, James O'Toole, dan Daniel Goleman ("Transparency", 2008) mengupas bagaimana para pemimpin dapat menciptakan budaya keterbukaan. Seolah meramalkan WikiLeaks, mereka bertiga mencatat bahwa teknologi komputer beserta fitur ikutannya berpotensi untuk mengurangi atau bahkan melawan kecenderungan budaya "tidak transparan" ini (pada waktu itu, mereka hanya mencatat blog dan beberapa peranti lunak komputer sebagai media terdepan dalam urusan "pembocoran rahasia").
Mereka bertiga menulis buku ini dalam konteks Amerika. Di sana, banyak orang merasa bahwa para pemimpin mereka-baik politisi maupun kalangan pemerintahan-sering menutupi banyak hal yang seharusnya diketahui oleh mereka. Mereka bahkan menilai bahwa sikap kurang transparan adalah musuh sejati mereka.
Salah satu tesis yang diusung mereka adalah "kepecayaan dan transparansi selalu berkaitan" (hlm. viii). Tanpa transparansi, orang tidak memercayai perkataan para pemimpinnya. Tesis yang lain adalah: menyatakan diri transparan tidak sama dengan menjadi transparan. Mereka mencatat "Bahkan saat banyak pemimpin perusahaan dan negara menggembar-gemborkan komitmen mereka untuk bersikap transparan, pembatasan kebenaran terus menjadi nilai yang dipegang teguh oleh banyak organisasi. Anda bisa berkata telah meyakini transparansi tanpa mempraktikkannya atau bahkan menginginkannya" (hlm. 2). Dalam hal ini, proses pembungkaman-sikap kurang transparan-sering dilakukan secara sengaja, bahkan sistematis, di dalam suatu struktur organisasi.