Mohon tunggu...
Eko Fangohoy
Eko Fangohoy Mohon Tunggu... Editor - Belajar filsafat di UGM, Yogyakarta. Suka membaca, menulis, menyunting naskah, bikin meme, dan, dulu (waktu aplikasinya masih populer), suka mengotak-atik actionscript animasi flash...

Belajar filsafat di UGM, Yogyakarta. Suka membaca, menulis, menyunting naskah, bikin meme, dan, dulu (waktu aplikasinya masih populer), suka mengotak-atik actionscript animasi flash...

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Star Trek 2013: Kongkalikong Penguasa dan Preman yang Berujung Maut

31 Mei 2013   12:37 Diperbarui: 24 Juni 2015   12:45 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Star Trek Into Darkness (source: Kompas)

[caption id="" align="aligncenter" width="653" caption="Star Trek Into Darkness (source: Kompas)"][/caption]

[spoiler alert!] Apakah suatu film science-fiction dengan latar space adventure bisa memaparkan banyak kesamaan antara masa kini dan "masa depan"? Biasanya, menonton film semacam itu, kita hanya memperoleh aksi dan visual-visual yang aduhai serta plot-plot rumit yang hanya bisa dipahami segelintir orang. Namun, menonton Star Trek Into Darkness (2013), kita menemukan suatu sisi yang berbeda dari salah satu fenomena kemanusiaan: kita tidak bisa memenangkan perang dengan cara-cara ilegal. Tujuan tidak bisa menjustifikasi cara. Tujuan mulia tidak bisa dicapai melalui cara-cara yang berlawanan dengan kemuliaan itu sendiri. Kita melihat bahwa ada saja orang-orang yang ingin mengambil jalan pintas dalam menuntaskan suatu persoalan-bahkan saat persoalan itu masih bersifat semu. Dalam STID, alkisah, ada seorang Admiral dalam organisasi Starfleet-suatu organisasi yang dimiliki federasi antarplanet pada abad ke-23, untuk tujuan eksplorasi dan penjaga perdamaian-yang berpikir bahwa musuh besar mereka, bangsa Klingon, sudah menjadi ancaman nyata bagi federasi antarplanet. Rasa takut dibalut ambisi untuk "menonjol" membuat sang Admiral mengambil langkah ilegal: mencari senjata yang menurutnya tak terkalahkan. "Senjata" tersebut berupa "Superman"-seorang manusia tiran yang berfisik di atas rata-rata-yang "ditidurkan" sebagai hukuman atas upaya pemberontakannya pada masa lalu. Khan, si Superman, memang secara tidak sengaja "ditemukan" sang Admiral. Namun, dalam diri Khan, Admiral menemukan suatu kekuatan dan juga kekuasaan yang sebelumnya tak terbayangkan oleh Admiral. Ambisi Admiral untuk memenangkan perang melawan musuh kini berubah menjadi nafsu kekuasaan. Namun, Khan bukan orang bodoh. Ia tidak rela didikte oleh sang Admiral. Sebagai pemimpin pemberontakan pada masa lalu, ia pun orang yang haus kuasa dan kejam. Ia pun punya agenda sendiri: menguasai dan mengalahkan dunia sebagaimana pernah ia coba hampir 3 abad yang lalu. Ke-72 orang pengikutnya yang sama-sama "ditidurkan"-yang awalnya juga akan "dibangunkan" dan dipakai oleh sang Admiral sebagai bagian dari "pasukan khusus" melawan Klingon-kini oleh Khan akan dipakai sebagai bagian dari "pasukan Superman" yang langsung berada di bawah komandonya-sama seperti dulu. Khan memulai terornya di London dan juga di markas Starfleet di San Fransisco. Ia mulai memukul balik Admiral dan memberi sinyal bahwa ialah kini yang memegang kendali, bukan Admiral. Sang Admiral yang mulai sadar bahwa Khan berada di luar kendalinya menugaskan James T. Kirk beserta awak Enterprise untuk melakukan misi tunggal: membunuh Khan. Namanya tentu tercoreng jika orang lain sampai tahu bahwa ia memiliki konspirasi ilegal dengan pemberontak dari masa lalu hanya demi memuaskan ambisi pribadinya. Apakah Khan berhasil dibunuh? Apakah James T. Kirk bersedia membunuh Khan? Bagaimana nasib sang Admiral? Tanpa perlu masuk ke dalam bagian tengah dan ending film, ada pesan cukup kuat yang bergaung di sini. Orang semacam Khan banyak di antara kita, juga orang macam sang Admiral. Barangkali, Khan mirip dengan "preman super" yang tidak mau begitu saja "dipakai" oleh orang berduit atau berkuasa seperti si Admiral. Skenario semacam ini banyak ditemui sekarang, hampir 3 abad sebelum peristiwa yang diceritakan dalam film STID terjadi. Perkawinan haram antara orang-orang yang dianggap memiliki kelebihan fisik dan mereka yang berkuasa dan berduit rupanya merupakan sesuatu yang cukup konstan di jagat raya ini, sehingga kalau hal itu lazim di masa kini (abad ke-21), itu pun lazim pula di masa depan (abad ke-23). Ini rupanya praktik yang cukup tua dan barangkali bisa merembes melintasi sekat-sekat waktu dan dunia. Namun, berbeda dengan "preman biasa", Khan tidak butuh uang. Ia membutuhkan sesuatu yang juga dihasrati oleh sang Admiral: kekuasaan. Jika preman dan penguasa/orang kaya bisa sama-sama senang dengan upah masing-masing-yang satu butuh harta, yang lain butuh takhta (setidaknya takhta yang lebih tinggi)-Khan dan Admiral berebut upah yang sama: kekuasaan. Itu hanya berarti satu: preman dan penguasa hanya bisa seiring dan sejalan ketika mereka tidak perlu berebut "upah" yang sama. Mereka kolaborator yang baik, sejauh kepentingan mereka masing-masing terpenuhi tanpa perlu merampas kepentingan orang lain. Preman membutuhkan perlindungan dan uang dari penguasa, sementara penguasa membutuhkan "kekuatan" preman untuk mengalahkan musuh-musuhnya. Namun, saat mereka sama-sama mau berkuasa, menduduki takhta yang sama, mereka saling mencakar dan mengudeta. Penguasa seolah-olah sedang memelihara macan tidur yang setiap saat bisa terbangun dan menerkamnya sendiri. Preman yang awalnya memberi perasaan bebas dari bahaya berubah menjadi sumber teror yang menakutkan penguasa. Preman berubah posisi: tidak lagi menjadi bagian dari solusi, tetapi penghalang penguasa beraksi. Astaga. Hal itu pun sama sejak dulu, berabad-abad yang lalu, sekarang, dan pada abad-abad saat jagat Star Trek digelar. Jalan pintas penguasa atau orang berduit dalam mencapai tujuan mereka-entah mulia atau tidak-dengan memanfaatkan "orang-orang kuat" memang seperti memantulkan salah satu sisi dari kemanusiaan kita. Saat jalan pintas berupa kongkalikong ini menemui jalan buntu, maut pun sudah menanti di depan mata. Ah, menonton Star Trek ternyata bisa membuat orang takut sekaligus bermimpi. Ternyata, di masa depan, penyakit kemanusiaan kita belum sembuh-sembuh juga. Jika di depan layar bioskop kita bisa berharap pada Kapten James T. Kirk dan kawan-kawannya untuk memerangi kongkalikong di abad ke-23, kita bisa bermimpi ada kapten yang juga mau melakukan hal yang sama pada masa sekarang, di sini. Semoga setelah kita menonton, kita tidak menempuh jalan kongkalingkong berujung maut seperti itu!***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun