Ini benar. Hari Kamis ini (14/6/2012), Katie—anak saya yang bersekolah di sebuah sekolah dasar swasta—menerima rapor akhir tahun ajaran 2011/2012. Rankingnya turun—itu yang saya dengar dari istri saya. Ia ranking 5 pada saat naik ke kelas 4 tahun lalu. Tahun ini, ia memang tetap naik ke kelas 5, walaupun berada di ranking 7. Awalnya, ada rasa sedih yang bergayut dalam hati saya. Bahkan, rasa sedih itu masih tidak sebanding dengan rasa bersalah yang ternyata berembus lebih keras.
Hampir setiap hari pulang malam—walaupun tidak terlalu malam, sebenarnya—dan rasa lelah yang mendera setelah tiba di rumah, saya benar-benar seperti kehabisan waktu untuk mendidik Katie dan adiknya. Ibunya yang juga lebih sibuk—biasanya pulang lebih malam—masih sempat menaruh perhatian untuk urusan ajar-mengajar, didik-mendidik ini. Ia secara telaten masih suka menemani Katie belajar, terutama jika si anak akan menghadapi ulangan besoknya.
Namun, rasa bersalah tetap rasa bersalah. “Investasi kasih sayang” tidaklah pernah kurang, entah dalam bentuk apa pun. Namun, “investasi waktu” kadang terasa mengganjal. Kami, orangtua Katie, sebenarnya termasuk pandai dalam memberikan waktu kepada Katie dan adiknya—apalagi jika waktu itu digunakan untuk mempererat tali kasih sayang di antara keluarga. Namun, waktu untuk belajar tetap menjadi kendala (untuk bagian ini, saya sering berpikir: kalau waktu belajar di rumah terasa tidak cukup, lalu apa gunanya sekolah? Maaf. Ini mungkin untuk tulisan lain).
Sebenarnya, nilai-nilai Katie tidak buruk, bahkan cenderung cukup dan stabil. Selidik punya selidik, saya kemudian tahu bahwa teman-temannya banyak memanfaatkan tempat-tempat bimbingan belajar dan kursus-kursus yang memang tumbuh subur di banyak tempat dengan berbagai format dan bentuk. Jadi, Katie tetap rajin belajar, tetapi, dengan minimnya pendampingan saya dan ibunya, sebagai orangtua, ia seperti menjadi single fighter. Tentu saja, ia tetap memperoleh hasil nilai yang cukup. Namun, teman-temannya, yang dulu biasanya sering berada di bawah rankingnya, kini memperoleh kemajuan yang lebih pesat. Alhasil, mereka kini “berhasil menyalip” Katie. Intinya, nilai-nilai Katie cenderung tetap, tetapi ada beberapa temannya yang “naik peringkat”—tentu di atas peringkat Katie. Ini aneh juga. Padahal, hasil tes IQ-nya kemarin menunjukkan bahwa ia memiliki IQ paling tinggi di kelas: 138.
Saya pernah marah ketika ia memperoleh nilai 7 padahal banyak temannya yang memperoleh nilai 8, bahkan 9, dalam suatu ulangan harian. Saya memarahinya. Dengan sedikit kasar, saya ingat berkata: “Masak, teman-teman kamu yang nakal-nakal itu bisa dapet 8, kamu kok cuma dapet 7?” Ibunya yang mendengar ucapan saya menegur: “Sudah bagus dia mau belajar dan berusaha, bahkan dia tetap mau masuk sekolah walaupun nilainya kalah dari teman-temannya. Ada anak lain yang bahkan tidak mau sekolah lagi gara-gara dipaksa belajar, dan setelah belajar, nilainya jelek, dan tidak mau masuk gara-gara malu…!” Waktu itu, saya kecewa dengan tanggapan istri saya. Lho, kok, membandingkan prestasi dengan anak yang jauh lebih buruk prestasi dan kemauannya? Mungkin istri saya sedang bermain-main dengan logika “sudah untung” ala Jawa: Sudah untung anakmu … daripada …
Memang pernah kami berpikir untuk mengikutkan Katie dalam suatu kursus atau bimbingan belajar di dekat rumah. Namun, dengan segenap pertimbangannya, kami memutuskan untuk tidak mengikutsertakannya dalam suatu kursus atau bimbingan belajar. Salah satunya, waktu itu, kami merasa bahwa kami mampu mengajar sendiri Katie selepas kami pulang bekerja. Kemudian hari, kami punya alasan yang lebih pokok lagi: kursus atau bimbingan belajar memang bagus, tetapi itu hanya berusaha mengcover aspek kognitif dari anak kami. Mengapa sesuatu yang sudah diajarkan di sekolah masih harus “ditambah” di luar sekolah? Tentu, dalam kursus dan bimbingan belajar, anak diberikan kiat-kiat menjawab soal, berbagai latihan soal, dan hal-hal lain yang tidak didapatkan di sekolah. Namun, bukankah materinya tetap sama?
Hal tersebut membuat kami, orangtuanya, berpikir: mengapa tidak mengembangkan aspek lain dari anak kami? Anak kami anak yang kreatif. Ia suka bergerak dan melakukan hal-hal “aneh”. Mengapa kami tidak menyalurkan hobi atau kesukaannya itu? Kami memang mengikutsertakannya dalam ekstrakurikuler di sekolah. Tentu saja, karena ia suka bermain musik, kami membelikannya keyboard—bukan yang mahal, memang J. Ke depan, saya masih berpikir untuk mengikutsertakannya dalam banyak kegiatan yang bersifat sosial dan afektif.
Jadi, mengapa saya tidak marah ketika tahu bahwa ranking Katie turun—dengan fakta-fakta di atas? Ini bukan karena saya tidak ingin Katie memperoleh nilai lebih tinggi atau ranking yang maksimal. Juga, ini bukan karena saya bangga karena tidak mampu mengajar—atau membantunya belajar—secara lebih ektensif atau intensif. Bukan. Bukan itu. Saya justru malu atas fakta yang terakhir. Namun, saya kini mulai berpikir dengan cara yang sedikit berbeda: jika anak Anda prestasinya lumayan, dengan nilai-nilai yang bagus, walaupun tidak masuk top ten di kelas, walaupun tidak jenius dengan nilai-nilai yang [nyaris] sempurna, asalkan ia tetap berusaha keras dalam belajar, asalkan ia memiliki minat pada hal-hal yang positif serta bersikap kreatif dalam banyak hal, Anda tidak perlu marah atau bersedih. Anak Anda tidak tergolong bodoh atau pemalas. Ia cukup cerdas. Ia bahkan barangkali memang memiliki bakat lain di luar pelajaran-pelajaran sekolah.
Katie anak yang cerdas. IQ-nya membuktikan itu. Jika sekali-dua kali nilai teman-temannya lebih bagus ketimbang dirinya, itu normal. Itulah hidup. Dunia anak, termasuk sekolah, bukan lomba balap MotoGP atau F1 atau UEFA Euro Cup. Persaingan dan perlombaan itu bagus. Namun, fokus dalam hidup bukan saja di situ. Hidup adalah juga memberi dan melayani. Katie sudah cerdas. Ranking dan nilai kadang-kadang naik dan turun. Namun, Katie juga harus pandai mengembangkan jati dirinya secara utuh, bukan cuma soal nilai dan ranking, bukan hanya soal kognitif. Ia juga harus pandai jasmaninya, pandai berbahasanya, pandai tutur katanya, pandai jiwa seninya, dan yang penting juga: pandai dalam berafeksi, berelasi, memberi dan melayani.
Begitulah. Saya mencoba untuk positive thinking. Saya tetap bercita-cita agar Katie bisa meraih nilai-nilai yang lebih bagus lagi, ranking yang lebih tinggi (setidaknya sama seperti dulu). Namun, cita-cita saya itu dibarengi niat untuk mencari strategi bagaimana mengajarkan pada Katie bahwa hidup bukan hanya untuk mencetak gol, tetapi juga membantu orang lain mencetak gol dan bagaimana berkomunikasi dengan orang lain supaya mereka membantu dirinya mencetak gol, serta kemudian mereka bersama-sama mencetak gol yang lebih banyak lagi.
Oh, iya. Satu lagi. Di semester ganjil kemarin, bulan Desember (untuk tahun ajaran ini juga), Katie masuk ranking 10. Kalau sekarang menjadi 7, ini kan peningkatan, ya?***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H