Mohon tunggu...
Eko Fangohoy
Eko Fangohoy Mohon Tunggu... Editor - Belajar filsafat di UGM, Yogyakarta. Suka membaca, menulis, menyunting naskah, bikin meme, dan, dulu (waktu aplikasinya masih populer), suka mengotak-atik actionscript animasi flash...

Belajar filsafat di UGM, Yogyakarta. Suka membaca, menulis, menyunting naskah, bikin meme, dan, dulu (waktu aplikasinya masih populer), suka mengotak-atik actionscript animasi flash...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ketika Yogyakarta Tidak Istimewa

30 November 2010   06:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   11:10 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Hadiah Istimewa untuk Daerah [Bekas] Istimewa Yogyakarta

Hadiah khusus dari Jakarta untuk Sultan Yogya setelah pasca-bencana erupsi Merapi ternyata bukan satu truk berisi mi instan atau pakaian dalam perempuan, melainkan suatu "kado istimewa" yang tidak begitu "istimewa". Presiden SBY, sebagai si pemberi hadiah,"membungkus" hadiahnya dalam satu kalimat: ""Tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan baik dengan konstitusi maupun nilai demokrasi." Ia menghadiahkan "kado" tersebut, Senin kemarin (29/11). SBY juga menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara hukum dan demokrasi, sehingga nilai demokrasi tidak boleh diabaikan.  Tentu saja, "kado istimewa" itu tampak "tidak istimewa" bagi banyak orang di Yogyakarta, termasuk Sri Sultan Hamengkubowono X sendiri. Reaksinya sudah dapat ditebak.

Apa yang sebenarnya terjadi? Apakah SBY ingin menghapuskan monarki Yogyakarta ataukah ia sekadar ingin mengatakan bahwa pemilihan kepala daerah di Provinsi DIY harus dilakukan secara langsung-bukan penunjukan/penetapan seperti yang sekarang ini berjalan? Lalu, bagaimana dengan status "istimewa" Yogyakarta? Di mana letak "keistimewaan" Yogyakarta?

Ada sesuatu yang masuk akal ketika kita mendengar argumentasi SBY dan argumentasi lain yang menggunakan logika negara hukum modern. Dalam negara hukum modern, tidak ada suatu proses penyelenggaran negara yang tidak melibatkan rakyat-baik secara langsung maupun tidak. Dari kegiatan penetapan undang-undang, pemilihan suatu posisi publik, bahkan sampai penentuan cara dalam kerja bakti, memang selalu melibatkan peran rakyat. Ketika tidak dapat dilibatkan secara langsung, rakyat dapat dilibatkan secara tidak langsung.

Dari sudut pandang ini, tampaknya argumentasi SBY cukup wajar dan logis. Sudah sepantasnyalah kepala daerah Yogyakarta dipilih secara langsung oleh rakyat dalam suatu pemilihan umum yang langsung, umum, dan bebas. Namun, bagaimana dengan status kesultanan Yogyakarta? Apakah sultan dan kesultanan Yogyakarta berubah menjadi hanya simbol?

Tampaknya, latar belakang historis sama sekali tidak mengizinkan sultan dan kesultanan Yogyakarta menjadi hanya simbol belaka. Kita mungkin tidak tahu secara persis apa alasan Sri Sultan Hamengkubuwono IX bersedia "mengintegrasikan" wilayah kesultanannya ke dalam Republik Indonesia (bisa jadi itu semacam bentuk penyerahan kedaulatan dalam arti "peleburan" atau "peluluhan" kesultanan itu di dalam Republik; atau bisa juga semacam "penempelan" belaka kesultanan ke dalam Republik yang baru ini-saya sendiri cenderung memilih yang pertama). Namun, satu hal sudah jelas: ada banyak faktor historis yang melatarbelakangi "keistimewaan" Yogyakarta di dalam Republik Indonesia.

Sultan Yogya sebagai Kepala Daerah Non-Eksekutif

Kini, tugas Sri Sultan (dan struktur terkait dalam kesultanan) dan pemerintahan pusat di Jakarta untuk berembuk di mana letak "keistimewaan" Yogyakarta. Tampaknya, solusi yang logis dan bermartabat adalah dengan mengusulkan agar Kesultanan Yogyakarta bukan hanya bersifat simbolis belaka, tetapi bersifat simbolis plus. Ketika mengusulkan ini, mungkin kita perlu memikirkan model ala Inggris, Spanyol, atau Jepang-suatu monarki konstitusional.

Dalam konteks "monarki konstitusional", Kesultanan Yogyakarta tetap diakui keberadaannya dan wewenangnya; Sultan Yogyakarta pun memiliki wewenang yang bukan hanya simbolis. Namun, kepala pemerintahan adalah seseorang yang dipilih langsung oleh rakyat dalam suatu pemilihan umum yang demokratis, langsung, umum, dan bebas. Dengan begitu, Sultan Yogyakarta menjadi semacam "kepala daerah non-eksekutif", sementara Gubernur Yogyakarta menjadi kepala daerah eksekutif.

Dengan demikian, ada 2 orang yang "berkuasa" di Yogyakarta: Sri Sultan dan Gubernur terpilih. Bagaimana persisnya hak dan wewenang Sri Sultan, serta bagaimana koordinasinya dengan Gubernur, itu tentu harus dipikirkan kembali. Tentu, dari seorang sultan Yogyakarta, rakyat Yogyakarta tidak hanya mengharapkan kepemimpinan simbolis. Namun, dari sudut pandang demokrasi dan sistem negara hukum modern, keberadaan seseorang seperti sultan pun jangan sampai mengganggu penyelenggaraan pemerintahan provinsial yang demokratis.

Mungkin, salah satu yang dapat dipikirkan adalah pengadopsian bentuk tugas dan jabatan "presiden" di negara-negara yang bersistem pemerintahan parlementer. Di banyak negara seperti itu, seperti Prancis dan Jerman, ada jabatan "presiden" yang memang simbolis, tetapi lebih daripada sekadar simbolis. Misalnya, secara simbolis, dalam konteks Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, seorang gubernur dipilih oleh rakyat, tetapi dilantik oleh Sri Sultan. Sri Sultan, secara resmi dan "kenegaraan", menerima gubernur terpilih-sebagai simbol penerimaan dari rakyat secara keseluruhan. Juga, dapat dipikirkan mengenai konteks lain: adopsi RUU, pengesahan UU, dan lain sebagainya. Dalam konteks Republik Federal Jerman, misalnya, seorang presiden dapat: memberikan usulan tertentu terkait jabatan di dalam pemerintahan, menandatangani UU yang sudah disahkan, dan sebagainya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun