Mohon tunggu...
Eko Ernada
Eko Ernada Mohon Tunggu... Kolumsi dan Aktifis Sosial, Politik dan Lingkungan

Eko Ernada adalah Seorang peneliti dan akademisi yang fokus pada kebijakan publik, nasionalisme, dan etnopolitik. Saat ini aktif dalam penelitian serta kerja sama internasional di bidang gender dan hubungan internasional. Selain itu, ia juga mengamati dinamika politik Indonesia, khususnya dalam konteks Pilkada dan strategi kampanye.

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dari Algoritma ke Kekuasaan: Geopolitik ChatGPT dan DeepSeek

20 April 2025   12:55 Diperbarui: 20 April 2025   14:54 212
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tulisan ini tidak bermaksud membandingkan kecanggihan teknis antara ChatGPT dan DeepSeek. Fokus saya bukan pada performa algoritma atau kecepatan respons, melainkan pada bagaimana kehadiran dua sistem AI ini merefleksikan pergeseran dalam struktur kekuasaan global. Ini adalah prediksi tentang arah baru dalam hubungan internasional, di mana kecerdasan buatan menjadi instrumen diplomasi dan perebutan pengaruh strategis---sebuah babak baru dalam geopolitik global yang ditulis dalam bahasa kode dan algoritma.

Kita hidup di masa ketika teknologi tak lagi netral. Beberapa tahun lalu, dunia terkagum-kagum ketika ChatGPT muncul sebagai wajah baru kecanggihan kecerdasan buatan. Amerika Serikat, melalui OpenAI, kembali menegaskan dominasinya dalam inovasi global dan kepemimpinan teknologi. Namun seperti halnya dalam siklus sejarah kekuasaan dunia, kejayaan teknologi jarang datang tanpa tantangan. Ketika China memperkenalkan DeepSeek---model AI dengan performa dan kedalaman bahasa yang menyaingi, bahkan dalam beberapa aspek melampaui ChatGPT---dunia menyaksikan bukan sekadar kemajuan teknologi, melainkan manuver strategis. DeepSeek bukan hanya proyek ilmiah, melainkan ekspresi dari strategi nasional untuk menantang dominasi digital Amerika. Di titik ini, pertanyaannya bukan lagi siapa yang lebih unggul dalam hal teknis, tetapi siapa yang sedang menulis ulang arsitektur kekuasaan global melalui kecerdasan buatan.

Dari permukaan, ChatGPT dan DeepSeek tampak seperti hasil kerja keras para insinyur dan ilmuwan data. Namun jika dilihat dari kacamata hubungan internasional, keduanya merupakan proyeksi kekuatan dari dua negara adidaya yang sedang mengkonsolidasikan pengaruh global mereka melalui teknologi. Amerika membangun narasi AI sebagai produk dunia bebas: terbuka, inovatif, dan berbasis kolaborasi. Sementara China membalasnya dengan pendekatan yang terpusat dan sistematis, di mana teknologi diarahkan langsung untuk memperkuat posisi negara. Dengan demikian, AI bukan lagi sekadar alat bantu, melainkan arsitektur baru dari apa yang disebut Joseph Nye sebagai "smart power"---kombinasi dari daya tarik teknologi dan tekanan sistemik untuk memengaruhi tatanan global.

Dalam kerangka non-cooperative strategic game, kedua aktor ini memetakan strategi dominasi sambil menghalangi lawan menguasai ruang yang sama. Logika zero-sum berlaku: jika satu pihak berhasil menjadikan ekosistemnya sebagai standar global, maka pihak lain kehilangan pengaruh relatif. Namun, ada pula dinamika coordination games yang membuat negara-negara lain harus berhitung cermat. Mengadopsi standar teknologi dari satu pihak bisa membuka akses dan keuntungan ekonomi, namun juga berarti tunduk pada pengaruh geopolitik yang lebih luas. Dalam dunia yang makin tergantung pada AI, pilihan-pilihan ini bukan hanya bersifat teknis, tetapi eksistensial.

Lebih dalam lagi, ada elemen strategic signaling. DeepSeek adalah sinyal kuat dari China kepada dunia bahwa mereka siap mengambil alih posisi sebagai penyedia alternatif dari dominasi digital Barat. Di sisi lain, langkah AS membatasi ekspor chip ke China adalah sinyal bahwa mereka melihat AI bukan lagi soal inovasi, tapi soal keamanan nasional. Dan bagi negara-negara lain, terutama dari Global South, posisi ini menciptakan prisoner's dilemma. Bergabung dengan satu kubu bisa berarti akses teknologi dan dukungan ekonomi, tapi juga mengorbankan kedaulatan digital. Menjaga netralitas pun bukan pilihan mudah, karena dua kekuatan ini terus memperluas pengaruhnya melalui standar, platform, dan infrastruktur.

Dalam policy brief "A G20 Tech Diplomacy", Riordan dan Torres menegaskan bahwa teknologi---terutama kecerdasan buatan---tidak lagi netral. Mereka membentuk realitas, narasi, bahkan cara berpikir masyarakat. ChatGPT dan DeepSeek, dalam hal ini, bukan hanya representasi keunggulan teknologi, tapi juga strategi menarik simpati global. Amerika membangun pengaruhnya melalui "nilai": keterbukaan, privasi, dan etika AI. China membalas dengan tawaran praktis: infrastruktur murah, efisiensi, dan janji kedaulatan digital. Narasi yang dibentuk kedua kekuatan ini kemudian bergema ke negara-negara berkembang, menciptakan semacam soft pressure agar bergabung ke dalam ekosistem masing-masing.

Negara seperti Indonesia pun mulai masuk ke dalam permainan ini, secara sadar maupun tidak. Platform apa yang kita pakai, server siapa yang menyimpan data, algoritma mana yang kita percaya---semuanya punya konsekuensi geopolitik. Bahkan dalam ruang-ruang kebijakan publik atau pendidikan, ketergantungan pada AI asing mulai terasa. Di sinilah wajah baru kolonialisme digital lahir. Bukan lewat senjata, tapi lewat pengaruh algoritmik. Bukan dengan invasi, tapi dengan integrasi sistemik.

Sayangnya, pertarungan ini tidak selalu memberikan ruang yang adil bagi negara-negara non-hegemonik. Sebagian besar negara berkembang hanya jadi pasar atau konsumen, bukan penentu arah. Maka inisiatif seperti pembentukan G20 Tech Ambassador menjadi penting. G20 perlu menjadi forum penyeimbang, agar teknologi tak hanya dikuasai oleh dua raksasa, tapi bisa diarahkan untuk kepentingan kolektif global. Dalam diplomasi teknologi yang inklusif, suara negara-negara Global South harus dipastikan hadir. Mereka perlu punya kapasitas, sumber daya, dan posisi tawar untuk tidak hanya ikut serta, tetapi ikut menentukan arah masa depan teknologi.

Tanpa kerangka kerja global yang adil, fragmentasi dunia digital akan semakin dalam. Dunia bisa terbelah menjadi dua: satu tunduk pada standar Barat, satu lagi pada sistem Tiongkok. Dan kita, negara-negara di tengah, hanya menjadi pion dalam grand strategy dua kekuatan besar. Ini bukan lagi pertanyaan tentang teknologi siapa yang paling canggih, tetapi siapa yang akan memimpin, mengendalikan, dan pada akhirnya, menetapkan aturan main di masa depan.

China mempermalukan AS bukan dengan propaganda atau senjata. Tapi dengan sesuatu yang jauh lebih strategis: menghadirkan alternatif. DeepSeek adalah pesan diam-diam bahwa dominasi Barat bisa dipatahkan. Bahwa masa depan digital bisa ditulis dari luar Silicon Valley. Jika dunia tidak segera membangun kerangka kerja diplomasi teknologi yang inklusif, maka yang terjadi bukan hanya perang AI, tetapi perang pengaruh yang menyeret banyak negara ke dalam jebakan pengaruh satu kubu. Dan ketika kekuasaan digital sudah berpindah tangan, sulit bagi negara kecil untuk sekadar berkata: tidak.
Di tulis oleh Eko Ernada, Dosen HI Universitas Jember
-Merunduk untuk belajar-

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun