Cerpen ini telah diikutsertakan dalam Lomba Menulis Cerpen Remaja (LMCR) 2009 Lip Ice-Selsun, dan memenangkan juara harapan 7.
Pemuda itu tersentak saat wajahnya tiba-tiba menghilang pada suatu pagi. Ia meraba-raba mukanya. Terasa relief mukanya utuh: ada benjolan hidung, lubang mulut dan mata. Semuanya lengkap. Namun, herannya ia tak bisa melihat wajahnya sendiri di cermin.
“Ada apa ini? Mataku yang kacau atau cermin ini yang rusak?,” gumamnya.
Pemuda itu berlari dari kamarnya di loteng dengan tergesa, masih dengan piyamanya, menuruni anak tangga yang mendadak terasa asing. Pintu menuju ruang tengah ia buka. Bahkan pintu itu pun tampak ganjil.
“Ada apa ini?,” si pemuda mulai terisak. Ia berlari lagi menuju cermin besar di lantai bawah. Namun, ternyata sama saja. Wajahnya masih raib entah kemana.
Pemuda tanpa wajah itu makin panik dan histeris. Dengan nafas tersengal-sengal, ia berlari keluar dari rumahnya, tanpa sadar ia menginjaki rerumputan manila, menggilas pot-pot gelombang cinta, melompati pagar besi yang sekilas hendak mencengkeramnya, dan akhirnya ia pun mematung di ujung aspal.
Ia terkesiap. Orang-orang itu, ternyata mereka semua juga tak punya wajah. Namun, tak satu pun yang panik, tak ada yang histeris. Ia mengatur nafas sejenak, membungkukkan punggungnya agar kepalanya mendapat cukup oksigen. Si pemuda lalu menanyai siapapun yang lewat di depannya.
“Permisi pak, wajah anda kemana pak?,” tanyanya pada seorang bapak berkemeja rapih .
“Maaf bu, apa anda sadar wajah anda hilang?,” ia pun beralih ke seorang ibu yang baru saja pulang belanja di pasar.
“Mbak, apa mbak nggak merasa kehilangan wajah?,” pertanyaan ini ditujukannya pada seorang perempuan kantoran yang nampaknya sedang terburu-buru.
“Mas, mas, tunggu sebentar, saya cuma mau tanya, kok mas nggak panik sih kehilangan wajah?,” ia kembali melontarkan pertanyaan pada seorang pria yang usianya mungkin tak beda jauh dengannya.
“Kek, apa yang terjadi, wajah kakek kemana?,” sela si pemuda pada seorang pria uzur yang duduk di bangku taman.
“Nenek, maaf nek, wajah nenek ada di mana?,” pertanyaan ini ia lontarkan ke sosok wanita renta yang tengah latihan yoga di halaman rumahnya.
“Apa yang terjadi sebenarnya.....?, pertanyaan terakhir ini tak jelas pada siapa ia maksudkan. Ia cuma berteriak-teriak di tengah jalan saja.
“Tolong jawab.....!,” teriaknya parau sekali lagi.
Setelah berpuluh-puluh orang ia tanyai, pemuda itu pun menyerah. Tak ada seorang pun yang sudi menjawabnya. Malah, banyak di antara mereka yang mengatainya tidak sopan, tak tahu tata krama, kurang ajar, dan sinting. Sinting? Pemuda tanggung itu puyeng. Bukankah seharusnya ia yang mengatai mereka sinting? Mereka semua kehilangan wajah tetapi mereka berpura-pura tenang, seolah tak ada yang terjadi.
“Jangan-jangan orang-orang itu sudah kehilangan kesadaran mereka,” pikirnya.
Dengan pertanyaan-pertanyaan yang mengeroyok otaknya, pemuda tanpa wajah itu berjalan ke timur, ke arah hari bermula. Ia menyipitkan matanya. Matahari pagi tak pernah sesilau itu. Cahaya itu begitu terang, begitu mengancam. Bahkan, membuat matanya terasa perih.
Si pemuda bingung. Orang-orang itu, yang tengah lari pagi, menyapu halaman, bergosip di tikungan gang, mengantre di tukang nasi uduk atau sedang mengutak-atik motor, mereka semua berpura-pura seakan-akan matahari pagi tetap ramah seperti biasa. Ia penasaran, namun ia urung bertanya lagi. Mereka pasti juga akan mengatainya sinting.
Ke timur, dan terus ke timur ia melangkah. Entah apa yang menuntunnya, namun pemuda tanpa wajah itu merasa bahwa di timurlah ia akan menemukan jawaban atas pertanyaan dan keheranannya. Apakah karena asal muasal agama umat manusia berada di timur? Entahlah, pemuda itu tak sempat memikirkannya. Ia terlalu gugup dan grusah-grusuh.
“Seseorang harus bisa memberikan penjelasan yang memuaskan!,” gumamnya dalam hati.
Di alun-alun kota, kerumunan orang-orang tanpa wajah makin ramai. Namun ada yang aneh di sini. Muka-muka tanpa wajah itu beraneka warna. Ada yang putih, hitam, merah, kuning, hijau, pink, loreng, bahkan transparan hingga nampak abu-abu serabut otak dan susunan syaraf di balik kepalanya yang menjijikkan.
Pemuda yang menderita itu mendekati sebuah panggung yang riuh ramai. Para penonton bersorak sorai setiap kali orang di atas panggung itu berkoar-koar sambil sesekali mengacung-acungkan tangannya. Si pemuda mendekat untuk mengamati orang yang tengah berpidato lantang di atas panggung.
Ternyata orang di atas panggung itu pun tak berwajah. Namun anehnya, warna mukanya dapat berganti-ganti. Ketika ia menghadap ke kerumunan muka merah, maka sekejap merah pula mukanya. Ketika ia menghadap ke gerombolan muka loreng, maka loreng pulalah mukanya. Jika ia menoleh ke arah orang-orang bermuka hijau, tiba-tiba hijaulah kepalanya. Dan jika ia beralih ke arah orang-orang bermuka transparan, maka mukanya dengan cepat berubah menjadi tembus pandang, mempertontonkan otaknya yang sebiji kelereng dan susunan syaraf yang salah sambung.
Karena tak tahan menahan geli menyaksikan adegan tersebut, si pemuda polos itu tertawa kencang. Bahkan, ia pun sampai memegangi perutnya saking gelinya.
Orang di atas panggung itu kaget. Ia mencari-cari di antara kerumunan massa, siapa yang telah berani menertawainya. Ia gusar, susunan teks pidato yang telah ia hafalkan semalaman suntuk buyar seketika.
“Kurang ajar, siapa yang berani mengganggu pidatoku.....?”, geram si muka warna-warni di atas panggung itu.
Si pemuda rupanya tak sadar bahwa tawa gelinya telah menyita perhatian semua orang. Semua orang dengan muka berlainan warna itu menoleh padanya, termasuk orang di atas panggung.
“Oh, ternyata kau anak muda. Kenapa kau tertawa tadi?,” tanya orang di atas panggung itu kepada si pemuda.
Kelihatan orang di panggung itu sulit menyesuaikan warna mukanya dengan si pemuda. Merah, hijau, loreng, pink, transparan, tak ada yang cocok. Massa pun mulai ikut-ikutan tertawa sebab adegan gonta-ganti warna itu lucu sekali. Orang di panggung itu pun kian panik.
“Hei, anak muda, lekas jawab pertanyaanku, apa maksudmu tadi.....Kamu sudah mengacaukan pidatoku.....!”
“Maaf, aku cuma tak bisa menahan geli...,” jawab pemuda itu sambil menahan tawanya melihat muka orang di atas panggung itu berubah-ubah tak karuan.
“Sialan kau anak muda! Tunjukkan warnamu! Aku tak bisa menyesuaikan mukaku kalau kau tak menunjukkan warnamu!,” bentak orang di atas panggung. Massa pun ikut-ikutan tertawa melihat mukanya yang belepotan warna belang bentong acak kadut.
“Warnaku?,” tanya pemuda itu heran. Tak pernah seorang pun menanyai warna dirinya sebelumnya.
“Iya, warnamu! Jangan pura-pura bego anak muda!,” lelaki di atas panggung mulai hilang kesabarannya.
“Tapi aku tak tahu warnaku!”
“Jangan bohong kamu!,” hardik seseorang dengan muka warna loreng yang tiba-tiba muncul dari balik panggung.
“Tapi aku sungguh tak tahu warnaku. Aku sendiri bingung kenapa wajahku pun menghilang!,” jawab pemuda itu memelas.
“Dasar tak punya pendirian!”
“Perusak demokrasi!”
“Sok suci!”
Kerumunan orang-orang yang tak ia kenal itu mulai ikut-ikutan menyumpahinya. Rupanya si loreng itu punya pengaruh yang kuat.
“Tapi aku benar-benar tak tahu warnaku. Aku bingung!”, kata pemuda itu setengah berteriak. Ia berusaha mengingat-ingat peristiwa yang terjadi sejak ia terbangun dari tidurnya. Waktu ia bercermin tadi pagi ia tak sanggup mengetahui warna mukanya. Wajahnya yang menghilang saja sudah bikin panik, mengurusi warna mukanya tentu saja ia tak sempat.
“Kau tak berwarna anak muda! Ini bisa runyam urusannya!,” kata orang di atas panggung. Si muka loreng pun mengangguk-angguk sambil berkacak pinggang.
“Benar anak muda, cepatlah bergabung dengan kerumunan! Pilih warna favoritmu. Kalau kau terus begini kau bisa dianggap anarkis!,” sambung si loreng.
Tubuh si pemuda itu bergetar. Dadanya terasa sesak. Ia tak mampu memahami kejadian yang menimpanya itu. Sesaat yang lalu ia masih pemuda biasa yang tak perlu menentukan warnanya, bebas pergi kemana saja. Namun, kini mereka memaksanya bergabung di kerumunan itu. Orang-orang tak berwajah dengan muka berwarna, yang terus meneriakkan yel-yel aneh dan bersorak sorai sambil mengelu-elukan orang di atas panggung.
“Ayolah kawan, kau ini generasi muda harus punya warna! Jangan kau agung-agungkan anarkisme! Kita punya negara, kita punya pemerintah, kau harus menjadi bagian dari pesta sistem ini. Bergabunglah bersama kami anak muda,” kata seseorang dari kerumunan muka kuning.
Tiba-tiba seseorang dari kelompok muka merah datang menghampiri pemuda yang kebingungan itu.
“Begini sobat. Kau tahu kan nasib bangsa ini. Berapa persen kapital mengalir ke rakyat kecil? Cumi sebiji kelereng! Bayangkan itu! Ayolah, gabung bersama kami jika kau peduli dengan rakyat! Ingat, inti dari ideologi kita adalah rakyat. Jangan kau khianati rakyat. Aku tunggu kau di barisan revolusioner kita anak muda,” kata pria bermuka merah itu.
Belum sempat pemuda itu menanggapi ajakan si muka merah, muncul si muka hijau. Ia bahkan meraih tangan si pemuda lalu menyalaminya dengan erat seolah karib yang telah berpisah lama.
“Anak muda, tak baiklah begini. Tanpa warna, tanpa perspektif. Anak muda harus punya sikap! Lihat kami di barisan hijau. Banyak anak muda yang militan bergabung di sana. Sudah lama umat kita dizalimi, sudah sekian dasawarsa saudara kita di belahan bumi lain menderita. Apa kau akan diam saja, anak muda? Mari bergabung bersama kami di barisan hijau. Kita ini saudara bukan?,” kata si muka hijau, yang membuat pemuda itu makin bingung saja.
Tidak! Tidak! Ia tak mau menjadi bagian dari mereka, menjadi kerumunan dengan muka berwarna seragam. Ia ingin menemukan wajahnya dulu sebelum memutuskan warna mukanya.
Ia berlari, merangsek keluar dari kerumunan. Orang-orang dengan muka loreng mengejarnya. Orang di panggung diam mematung, menyesali ada generasi muda yang gagal seperti itu di jaman pasca reformasi seperti ini.
Si pemuda berlari, dan terus berlari, entah kemana, namun yang pasti tetap ke timur mengikuti suara di hatinya.
Ketika gerombolan loreng mulai malas mengejar pemuda tanpa perspektif itu, si pemuda tetap berlari. Di timur jauh, matahari mulai menyengat kejam. Pemuda itu cuek saja, ia tetap berlari hingga badannya bersimbah peluh dan kakinya terasa ngilu saat dipaksa berpacu.
Matahari menari di ubun-ubun saat si pemuda menghentikan langkahnya yang terhuyung dan gemetaran. Di depannya ada sebuah gapura batu bertuliskan “Kampung Tanpa Wajah.” Si pemuda penasaran, jika tadi orang-orang di kota justru tak mengakui bahwa mereka kehilangan wajah sekarang malah ada sebuah perkampungan terpencil yang terang-terangan mengakui bahwa mereka tak memiliki wajah.
“Permisi?,” sapa pemuda itu pada seorang lelaki muda tanpa wajah yang terlihat muncul di depan gapura.
“Ya, ada apa kawan?,” jawab lelaki itu ramah sekali, bahkan kata “kawan” itu terdengar merdu di telinga si pemuda yang nafasnya masih kembang kempis itu.
“Bolehkah aku masuk ke kampung ini?”
“Tentu saja kawan. Siapa pun yang berkunjung ke sini adalah tamu kami yang harus kami hormati.”
Si pemuda terkesima dengan jawaban lelaki muda itu. Namun, apakah penduduk di dalam kampung itu juga seramah lelaki itu? Si pemuda itu tak yakin.
“Kami di sini semuanya adalah orang-orang bebas, generasi muda, yah kira-kira sebaya denganmu, kawan.”
“Benarkah?”
“Ya.”
“Lalu.....lalu apa artinya “Kampung Tanpa Wajah” di atas gapura itu? Apa kalian juga merasakan hal yang sama sepertiku? Sejak tadi pagi aku kehilangan wajahku, dan orang-orang lain pun sama. Cuma mereka.....”
“mereka tak sadar wajah mereka menghilang dan justru mengataimu sinting bukan, kawan?”
“Lhoh, kok kamu tahu?”
“Aha, itulah yang menyatukan kami di kampung ini: “Kampung Tanpa Wajah.” Dan kau tahu kawan, sebenarnya lebih banyak orang yang merasa wajah mereka hilang, namun mereka takut mengakuinya. Mereka tak mau dikatai sinting. Mereka ingin hidup normal, jauh dari konflik, lepas dari pertanyaan-pertanyaan mengerikan semacam “kenapa wajahmu menghilang?”, hahaha....., mereka hidup dalam kepalsuan.”
“Dan orang-orang dengan muka beraneka macam warna itu?”
“Itulah selubung terbaik untuk menutupi hilangnya wajah mereka!”
“Lalu, mengapa aku harus menjadi.....”
“menjadi bagian dari kerumunan itu maksudmu, kawan?
“Iya, mereka bilang aku ini anarkislah, pemberontaklah, subversiflah, bahkan aku dibilang tak punya perspektif.”
“Ya, sejak manusia menemukan bahasa, manusia terus berusaha mengklasifikasikan apa pun, termasuk diri mereka sendiri.”
“Maksudmu?”
“Inilah abad krisis identitas, kawan. Jika tak ada wajah yang unik pada setiap orang, mereka perlu warna untuk mendefinisikan dan mengklasifikasikan diri mereka. Dan mereka perlu bergerombol supaya jati diri mereka tak retak. Sayangnya, warna-warna itu rapuh dan tunduk pada sistem yang keropos pula.”
“Aku tak mengerti kawan.”
“Hmm, memang semuanya butuh waktu, kawan. Ayo, aku tunjukkan air terjun di kaki bukit sana supaya engkau bisa berendam dan membersihkan badanmu. Kau seperti baru saja mentas dari kubangan.”
“Terimakasih, kawan baru,” jawab pemuda tak berwajah itu seraya berjalan mengikuti si lelaki yang juga tak berwajah itu.
Rawamangun, 18 Desember 2008
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H