Di sinilah Banyu kini puaskan rindunya: sebuah stasiun kecil. Tak ada perubahan yang berarti selain sepi dan angker. Meski jalanan di tepi stasiun sudah beraspal hotmix, tetap saja cuma angin sawah yang rutin mampir ke bangunan bertembok salem ini.
Stasiun ini bukanlah stasiun utama yang menjadi titik pemberangkatan dan tujuan, namun sekadar titik pengecekan dan pengamanan jalannya kereta. Tak heran jika dari dulu selalu sepi.
Karena membelah area sawah yang luas, stasiun ini pun dijadikan batas wilayah desa. Di sisi baratnya, ada semacam kanal bawah tanah yang menghubungkan saluran irigasi dari utara dan selatan stasiun. Di sisi timur, tiang baja untuk menambatkan bendera sudah raib. Entahlah, mungkin sengaja dipindahkan atau justru telah berpindah tangan ke pencoleng besi.
Tembok luar stasiun tetap berhias batu-batu koral. Beberapa bagiannya bopeng. Salah satunya pasti hasil keusilan Banyu waktu kanak. Dulu, sebelum Play Station merajalela, bebatuan itu adalah mainan yang paling berharga bagi anak-anak.
Banyu berjalan pelan ke arah barat. Kamboja yang sama masih setia disana. Agak layu, namun di sela-sela dahan yang merana itu mengintip malu-malu kelopak-kelopak putih yang cantik. Di masa pubernya dulu, ia sering memetik satu dua bunga untuk diberikan pada Sri Rahayu, cinta monyetnya yang kini menjadi TKW di negeri jiran.
Di sebelah utara pohon itu, ada sebuah bangku yang terbuat dari potongan bantalan rel. Baja tebal itu mungkin sudah menopang ribuan pantat manusia. Dan ia tetap kokoh, meski kini warnanya telah kusam. Dulu ia sering duduk di situ berjam-jam bersama bapaknya. Sekadar menunggui kereta yang melintas.
Rasanya baru kemarin ia bertanya pada bapakya, “Pak, itu kereta apa pak?”, sambil tangannya menunjuk ke kereta warna merah yang muncul dari kejauhan.
Lalu bapaknya menjawab, “Oh, itu kereta Bengawan, nak. Berangkat dari stasiun Jebres menuju Tanah Abang.”
“Jebres dan Tanah Abang itu dimana pak?”
“Jebres itu di Solo, Tanah Abang itu di Jakarta.”
“Sampai Jakarta pak? Jauh sekali ya pak?”
“Setengah hari baru akan sampai di Jakarta anakku.”
Banyu termangu. Ia belum mampu membayangkan perjalanan yang begitu jauh. Jarak rumahnya ke sekolah yang cuma 4 km saja sudah sangat jauh baginya.
Kadang, kereta-kereta tersebut berhenti sejenak di stasiun kecil itu untuk menunggu kereta lain yang hendak melintas dari arah berlawanan. Banyu suka memperhatikan para penumpangnya. Mereka berwajah lelah, duduk berjejal di sela gerbong, pakaiannya lusuh-lusuh. Ada yang turun dari kereta, duduk di rerumputan pinggir rel dan merokok dengan nikmat. Dalam hati Banyu bertanya-tanya untuk apa orang-orang itu menempuh perjalanan yang begitu jauh.
Di lain waktu, Banyu penasaran dengan kereta warna putih yang sangat cepat. Bentuknya aneh. Kepalanya memiliki moncong, jendela-jendelanya pun selalu tertutup rapat. Tak terlihat penumpang yang berjejal di pintu-pintu seperti di kereta Bengawan atau kereta warna merah lainnya.
“Bapak! kereta apa itu pak?”, pekik Banyu.
“Itu kereta Argo. Hati-hati, nanti kamu bisa terbang kena anginnya!”
Dan Banyu memeluk erat tubuh tegap bapaknya. Ia takut terlempar gara-gara angin yang dihembuskan Argo. Dalam dekapan ayahnya itu, Banyu merasa aman dan nyaman, sebuah perasaan yang kini sangat ia rindukan.
Banyu kecil mulai terkesima dengan Argo yang angkuh tapi gagah itu. Kalau ada kereta berwarna merah yang berpapasan dengannya, kereta itu harus berhenti dulu di jalur sebelah untuk memberi jalan pada si Argo. Seolah-olah, urusan Argo itu demikian penting sehingga tak bisa ditunda-tunda lagi.
“Pak, Banyu ingin jadi sopir kereta Argo!”
“Bukan sopir, tapi masinis.”
“Memang apa bedanya dengan sopir pak?”
“Kalau sopir mengendarai mobil dengan kemudi, kalau masinis cukup dengan tuas.”
“Kalau mau belok pak?”
“Bukan masinis yang menentukan, tapi sep stasiun.”
Banyu yang lugu lalu membayangkan dirinya kelak akan menjadi sep stasiun seperti Pak Diman. Tak disangka, pria kurus berpunggung bengkok itu punya wewenang begitu besar hingga mampu membelokkan laju kereta.
Banyu pernah masuk ke kantor Pak Diman. Sebenarnya kantor itu harus steril dari orang lain, namun rupanya rengekan Banyu lebih menyeramkan daripada amukan atasan. Pak Diman pun memperbolehkannya melihat bagaimana caranya mengatur kereta-kereta itu.
Dalam tempo sekejap Banyu kecil yang serba ingin tahu itu telah mempelajari kebiasaan Pak Diman. 15 menit sebelum kereta melintas, telepon pasti berdering. Pak Diman mengangkatnya dengan sigap. Setelah itu, ia akan mengirim sinyal ke pos penjaga perlintasan di ujung barat. Beberapa tuas berukuran besar yang terpancang di tembok ia tarik ke atas. Seketika, kepala di tiang-tiang yang menjulang di sepanjang rel yang bentuknya mirip palu raksasa itu mengangguk-angguk, tanda kereta boleh melintas. Gerbang di perlintasan jalan raya pun turun disertai suara sirine dan lampu kelap-kelip.
Banyu kini duduk di bangku itu. Masih setebal dan sekokoh dulu. Cuma sedikit karat kuning kecoklatan yang mengesankan ketuaannya. Sayangnya, raga sang bapak tak sekuat baja itu dalam melawan waktu. Tegap bapaknya dulu telah digerogoti waktu hingga tinggal keriput dan ringkih saja. Puncaknya, tiga hari yang lalu, tubuh renta bapaknya kembali menyatu dengan tanah. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un...
“Diabetes sialan!”, pekik Banyu dalam hati. Diabetes telah merenggut bapaknya dengan brutal. Mulanya hanya otot-otot yang mudah lelah, lalu rasa haus yang mudah datang. Gejala itu harusnya sudah cukup memberikan alasan bagi Banyu untuk lebih memperhatikan bapaknya. Namun, ternyata ia kurang peka. Walaupun ia rutin menelepon ke rumah seminggu sekali, seharusnya ia bisa menyempatkan waktunya untuk menengok ayahnya itu.
“Pak, gimana kondisi bapak sekarang?”
“Bapak nggak apa-apa kok. Bapak masih kuat melakukan ini-itu. Tanya saja sama si Lastri, adikmu itu.”
“Betul bapak nggak apa-apa?”
“Kamu nggak percaya?”
“Kalau begitu baguslah pak. Saya cuma khawatir saja. Kemarin Lastri nelpon dan katanya Bapak sedang sakit.”
“Ah, si Lastri suka membesar-besarkan. Wong bapak masih segar bugar kok. Sudah, kamu bekerja yang tekun saja ya nak.”
Itulah kata-kata terakhir bapaknya di balik gagang telepon seminggu yang lalu. Dan kabar buruk itu datang dengan tiba-tiba. Pagi sekali, waktu itu Banyu tengah menikmati latte-nya sebelum mulai menggerayangi tuts-tuts notebook-nya. Suara parau Lastri di gagang telepon sudah menusuk ulu hatinya sebelum berita duka itu benar-benar keluar dari mulut adiknya.
“mas, Bapak meninggal tadi pagi jam 5 lewat 10. Mas diharap segera pulang.”
Degg! Tak ada kata-kata yang keluar dari mulut Banyu. Cuma air mata yang meleleh dari matanya tanpa suara. Tiba-tiba saja ia merasa sendiri, terhempas entah dari apa, dan tak bisa melakukan apa pun. Sudah lama ia bekerja sebagai konsultan risk assessment, namun ternyata maut lebih daripada sekedar data-data statisktik yang biasa ia kalkulasikan. “Tidak, tidak, aku belum siap!!,” gemuruh hati Banyu bergejolak.
Dari Lastri, ia tahu bahwa luka gores di kaki ayahnya yang seharusnya bisa sembuh dalam sehari malah menjelma jadi borok yang menjijikkan. Di hari-hari terakhirnya, bola mata bapaknya pun membusuk. Ia sempat marah pada Lastri, adik satu-satunya yang masih remaja, karena tidak memberitahu semua itu dari awal.
Namun, toh akhirnya ia sadar bahwa dirinyalah yang patut disalahkan karena kurang peka. Bapaknya tentu saja tak ingin membuatnya cemas. Karakter yang menonjol dari bapaknya dari dulu dan ditanamkan kuat pada kedua anaknya itu adalah jangan sampai merepotkan orang lain. Sebisa mungkin semua hal dikerjakan dan diselesaikan sendiri tanpa bantuan orang lain. Dan itulah yang dipegang teguh oleh Banyu hingga ia bisa bertahan di Jakarta.
“Astaghfirullah, maafkan anakmu yang tak pernah memperhatikanmu ini bapak...”, batin Banyu koyak.
“Hidup itu seperti rangkaian kereta nak. Tiap hari selalu berjalan dari stasiun satu ke stasiun lainnya. Kadang kau cuma berhenti sejenak di sebuah stasiun kecil seperti ini, tapi kadang kau berhenti lama di stasiun-stasiun besar. Semuanya itu terus berulang hingga kereta selanjutnya yang lebih cepat menggantikanmu.”
Sayup-sayup petuah bapaknya silam terngiang kembali di telinganya. Tugas bapaknya telah tuntas, seluruh stasiun kehidupan telah ia kunjungi. Dan akhirnya kereta itu telah pergi untuk selamanya.
“Mungkin bapak dulu umpama kereta diesel yang kokoh. Aku adalah kereta ekspres yang mengandalkan kecepatan. Dan, generasi selanjutku nanti adalah kereta maglev yang melawan gravitasi,” bayang Banyu.
“Mas, ayo pulang, keluarga yang lain telah menunggu,” suara Lastri membuyarkan segala lamunan Banyu.
“Eh, kamu Las. Iya, aku akan segera pulang.”
“Masih mengingat-ingat masa kecil bersama bapak?”
“Yah, begitulah. Banyak kenanganku bersama bapak di stasiun ini.”
“Mas, sebenarnya aku begitu iri denganmu. Mas punya kenangan manis masa kecil dengan bapak. Aku, hampir-hampir tak pernah dibawa jalan-jalan oleh bapak.”
“Tak pernah?”
“Hampir tak pernah. Mungkin karena memang waktu aku kanak bapak telah terlalu renta dan tak ada lagi minat berjalan-jalan santai sore hari di stasiun ini. Atau, mungkin ia terlalu merana akibat kepergian ibu yang terlalu mendadak itu mas.”
“Ya. Aku sendiri pun tak terlalu bisa memahami bapak. Setelah ibu tiada, ia berubah drastis menjadi begitu pendiam.”
“Mas, apa benar dulu mas pergi ke Jakarta akibat benci kepada bapak?”
“Awalnya seperti itu. Aku menyalahkan bapak atas kematian ibu. Namun, kini aku sadar bapak pun juga terpukul berat atas tragedi itu. Seharusnya aku tak menambah penderitaannya dengan menyalahkannya.”
“Bapak tak pernah membencimu mas. Bahkan, ia begitu sayang padamu. Aku masih ingat ketika aku kecil dulu yang bisa membuatnya tersenyum hanyalah surat-surat darimu. Padahal, aku tahu surat-suratmu dulu begitu singkat, begitu dingin.”
Banyu terdiam. Ia menyesali sikapnya dulu yang begitu membenci bapaknya sendiri. Sebenarnya bukan salah bapaknya ibu meninggal dalam kecelakaan lalu lintas. Hanya saja, sebelum kejadian, Banyu melihat ayahnya menampar ibu. Banyu mendapati ayahnya selamat di rumah sakit. Nahas, nyawa ibunya tak tertolong.
“Jika suratmu tak kunjung tiba, ia akan terus bertanya padaku apakah aku lupa mengambilnya di kotak surat. Dan ia akan duduk murung di kursi malasnya menanti kabar darimu.”
“Waktu itu memang aku masih begitu sembrono Las. Aku menyesal.”
“Sudahlah mas. Tak perlu disesali. Yang telah terjadi biarlah terjadi. Sebenarnya aku ingin sekali mengabarkan mengenai sakit bapak yang makin parah waktu itu. Namun, bapak bersikeras tak perlu dibesar-besarkan. Ia justru marah setiap kali aku mengutarakan niat hendak memberi kabar padamu. Ia tak mau membuatmu khawatir.”
Dalam hati Banyu pun mengucap kata maaf berkali-kali. Pada bapaknya, pada si kereta diesel, pada dua ujung rel yang menyatu entah di ujung sana.
Rawamangun, 2008
Eko Budi Nugroho, mahasiswa jurusan Bahasa dan Sastra Inggris, FBS, UNJ
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H