Mohon tunggu...
Eko Bagus Pratomo
Eko Bagus Pratomo Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Penikmat tiki-taka

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Permen Karet dalam Sistem Moneter

28 Oktober 2013   15:46 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:55 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13829504571317021166

[caption id="attachment_274672" align="alignleft" width="300" caption="Berapa banyak penderitaan umat manusia harus bertahan sampai kita menyadari bahwa kita hanya berperang dengan angka? -Colin Turner-"][/caption] Jangan pernah berharap masyarakat akan berlaku adil dan etis di dalam sistem moneter (sistem uang/harga). Dua hal (wacana) itu takbeda permen karet yang sekadar menjadi isengan/pemanis mulut sesaat. Sadar ataupun taksadar, sengaja ataupun taksengaja, di dalam sistem ini semua bersaing, berkompetisi, bahkan bisa saling menjatuhkan hanya untuk sekadar bertahan hidup. Mulai dari individu baru yang mengenyam pendidikan hanya untuk memperoleh doktrin bahwa ia harus mendapatkan pekerjaan yang layak, menjaga/melindungi keluarga dari ancaman pihak luar (faktor eksternal), menjadi patriotis alih-alih menjaga integritas bangsa yang padahal hanyalah bagian dari cara bersaing/berkompetisi dengan bangsa lain (perusahaan lain), hingga yang rela berperang (saling membunuh) hanya untuk membela kaum yang satu profesi, satu suku (ras), satu negara, seagama (seiman) dengannya. Semua dibentuk agar menjadi kuat (beriman/punya keyakinan) untuk bersaing/berkompetisi dan tetap bermuara pada peperangan. Mau itu perang senjata, perang kelangkaan, perang wacana, hingga perang keluhan. Semua itu adalah gejala wajar di dalam sistem ini (yang sebenarnya aneh dan dungu). Memang semua dibentuk/terbentuk untuk hidup dengan paradigma (kerangka berpikir) yang demikian. Tentang profesi populer di dalam sistem ini pun banyak yang takbeda dengan omong kosong (takguna). Mulai dari jurnalis yang hanya menulis berita yang hanya menjadi wacana tanpa ujung/solusi (omong kosong), politikus yang hanya sibuk mengatur kebijakan yang tetap memiliki kerangka dasar persaingan dan tetap tunduk pada sistem (yang hanya terus-menerus membodohi dan membunuh jiwa (karakter) manusia sebagai manusia yang seutuhnya), pebisnis yang sekadar mimikirkan cara mencari/menemukan strategi untuk menguntungkan bisnisnya sendiri dengan menciptakan kelangkaan hingga "menghancurkan" bisnis orang lain, guru yang masih kebanyakan hanya mendidik anak didiknya untuk sekadar lulus ujian untuk mendapat/memperoleh pekerjaan yang layak (bukan untuk menjadi penemu yang temuannya/karyanya bisa menjadi berdaya untuk dirinya dan masyarakat (manusia di sekitarnya atau dalam cakupan yang luas)), militer yang dibentuk hanya untuk menjadi laskar terdepan dalam keamanan negara yang sungguh tidak perlu jika kita memiliki kesadaran dan tujuan hidup untuk kemaslahatan bersama, musisi/seniman yang hanya akan menjadi pelipur lara dan bersifat sementara (dalam sistem ini), hingga pemimpin umat beragama yang terus menggembar-gemborkan akhlak yang mulia dan jalan pengampunan karena memang dalam sistem ini semua tidak bisa/sanggup untuk berlaku adil dan etis. Semua itu adalah imbas (gejala wajar) dalam sistem ini. Kita tidak akan berhenti saling menjatuhkan dan terus mengeluh selama kita masih mengimani sistem moneter (sistem uang/harga). Sebab, sistem ini memang tidak sesuai dengan nurani kita sebagai manusia. It's just sex and violence, melody and silence -The Verve-

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun