Mohon tunggu...
Eko Avianto
Eko Avianto Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Jamaah Yutubiyah | Penikmat kopi saat mentari belum terlalu tinggi

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Kereta Senja

1 Juli 2019   22:15 Diperbarui: 1 Juli 2019   23:44 238
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku dan Deni masih berkutat dengan ponsel ketika kereta tujuan Solo sudah memasuki Stasiun Tawang Semarang. Kami tidak buru-buru memasuki kereta. Toh, waktu keberangkatannya masih cukup lama. Tiket dan nomor tempat duduk sudah dapat. Lagipula kami malas berdesak-desakan. Kami lebih suka masuk kereta api menjelang berangkat. Ada sensasi tersendiri ketika mencari tempat duduk saat kereta api mulai berjalan. Berjalan di lorong kereta api sambil melihat wajah-wajah penumpang lainnya.

Liputan di Semarang sudah selesai dan kini kami harus segera ke Solo. Sudah lama rasanya aku meninggalkan kota Semarang. Lahir dan besar di Semarang, sekarang aku datang hanya untuk meliput acara atau ketika cuti saja.  

"Bro, udah dapet e-mailnya?" tanyaku pada Deni yang sedang asyik nge-game. 

"Belum bro," jawabnya singkat. Mukanya menengok sedikit hanya sekedar melirikku.

"Kenapa ya? Biasanya Lena gak pernah lama kasih script. Gue musti upload datanya satu jam lagi. Kalau enggak, head office bisa ribut ini. 

"Tauk bro." Deni menggerakkan bahunya ke atas. Lalu menyambung kalimatnya, "Udah gini aja, kirim WA ke Pak Wisnu kalau kita lagi otw. Dokumen dikirim begitu kita berhenti di stasiun. Lo tau sendiri kan sinyal di kereta suka jelek kalau jalan. Kita udah ditunggu narsum di Solo. Harus berangkat sekarang." 

Aku menghela nafas. Bener juga apa yang dibilang Deni. Sinyal internet suka ngilang kalau kereta lagi jalan. Mengikuti saran Deni, kubuka hape dan kirim chat ke Pak Wisnu, Head of News kami di Jakarta.

Kerumunan penumpang di depan pintu masuk kereta sudah terlihat berkurang. Sebagian besar penumpang sudah masuk rupanya. 

Sambil menunggu balasan dari Pak Wisnu, aku melayangkan pandanganku ke ujung lokomotif. Anganku mengembara ke masa lalu...

***

Tiga tahun lalu, di Simpanglima Semarang, Sabtu malam itu Irfan memberiku sebuah surat. Dari Novia. Katanya balasan dari pernyataanku minggu lalu. Well, seminggu yang lalu aku nembak Novia apakah dia mau jadi pacarku. Pantesan dari kemarin dia tidak membalas chat. Rupanya dia lebih memilih memakai surat. Hari gini pakai surat. Ada email kali.

Aku terima amplop warna ungu itu dan buru-buru membukanya. Hanya butuh waktu sepeminuman teh untuk mengetahui isi dari surat itu. Dia nolak aku.

Tanpa suara, aku berikan surat itu ke Irfan tanpa menyelesaikan semua isi suratnya.

"Gimana bro?" tanya Irfan dengan muka penuh tanda tanya.

"Baca aja sendiri. Males aku Fan," sahutku.

Mendengar ucapanku Irfan bergumam, " Duh... alamat ditolak ini..." 

Tak lama Irfan membaca surat itu sambil menggeleng gelengkan kepala.

"Kenapa Fan?" tanyaku 

"Aneh aja Al. Kok bisa sih Novia nolak kamu karena gak suka dengan cara kamu nembak dia. Ya.., meskipun kalau buat aku itu tandanya kamu masih punya harapan."

"Maybe. Tapi enggak Fan. Aku gak bisa. Pasti akan makan waktu. Besok Minggu aku harus berangkat ke Jakarta. Ada interview di Next TV. Tahu sendiri Ibuku sudah ngejar-ngejar aku buat kerja. Kalau aku gak berangkat, bisa panjang entar ceritanya."

Minggu pagi aku sudah berada di stasiun Tawang diantar Ibu dan adikku yang cewek, Sandra. Seperti biasa, petuah dan nasehat bijak Ibu keluar semua sepanjang perjalanan hingga di stasiun. Aku yang sudah terbiasa hanya bisa merekamnya dalam memoriku di "folder temporary file" sembari mengiyakan semua perkataan Ibu.

Saat aku masih terbius oleh curahan kalimat bijak Ibu, sesosok tubuh berdiri di samping tempat dudukku. Aku perhatikan kakinya lalu bergerak ke atas. Novia! 

"What?!" teriakku dalam hati. Aku gerakkan kepalaku ke Ibu. Ibu hanya tersenyum kecil. 

"Ibu tahu kalau Via mau kesini?" tanyaku setengah berbisik pada Ibu dengan pandangan menyelidik.

Ibu yang merasa menjadi tersangka lantas menjawab, "Ya ndak to Al. Mosok ya Ibu yang ngasih tahu..."

Aku masih celingukan mencari sosok lain.

Novia yang tahu kalau aku mencari seseorang berkata, "Iya, Irfan yang bilang ke aku semalam. Aku cuma sebentar kok. Cuma mau kasih ini."

Tampak sebuah kotak ditangannya. Diberikannya padaku. Aku tak bergeming.

"Apa ini?" tanyaku agak meninggi karena masih ingat isi suratnya semalam.

"Sebuah pengingat. Aku tahu kamu kecewa. Tapi aku berharap ini bisa membuatmu belajar tentang sesuatu. Udah terima saja." Novia menjawab pertanyaanku dengan nada tenang lalu mengambil tangan kananku, sedikit memaksa untuk menerima pemberiannya. Aku berontak.

Tanpa aku duga, Ibu ikut menahan tanganku dan Sandra tiba-tiba juga muncul di sampingku dengan mata melotot seolah memerintahku agar menerima pemberian dari Novia.

Meskipun diliputi kemarahan, aku masih bisa berpikir jernih untuk tidak melukai tiga wanita paling berharga dalam hidupku. Aku hentikan gerakan tanganku dan menerima kotak terbungkus rapi oleh kertas warna putih dengan pita emas itu.

"Good luck Al. See you next time..," ucap Novia pelan sembari menatap lembut mataku. "I'm sorry." Novia membalikkan badannya, berjalan dengan cepat menuju halaman stasiun.

Entah kenapa, amarahku perlahan mereda melihatnya seperti itu. Sepintas aku melihat matanya berkaca-kaca saat mengucapkan kalimat terakhirnya. Tubuhku seperti membeku, terdiam terpaku tidak bisa bergerak sedangkan kepalaku penuh dengan banyak pertanyaan.

***

"Hufft..." aku menghela nafas panjang hingga membuat Deni menengok ke arahku.

"Napa bro? Soal Lena lagi?" tanya Deni.

"No. Inget masa lalu aja. Forget it," sahutku.

Tak lama kemudian kami bersiap naik kereta setelah mendengar pemberitahuan dari stasiun jika kereta tujuan Solo akan segera berangkat.

Ketika aku hendak berdiri menyusul Deni yang sudah berjalan duluan, sebuah suara menahanku. "Mas, jam berapa ya?" tanya wanita berbaju putih yang tiba-tiba berdiri di sebelah kananku.

Spontan aku menengok jam tangan yang ada di pergelangan tangan kiriku sambil berkata, "Jam..."

Kalimatku tidak bisa aku selesaikan. Kulihat wajah yang selama ini selalu berada di kepalaku. Novia.

"Kamu???" Hanya itu yang bisa aku keluarkan dari mulutku. Entah bagaimana bentuk mukaku sekarang.

Novia hanya tersenyum dan menganggukkan kepalanya. Mungkin antara geli tapi takut dosa melihat ekspresiku atau entahlah.

Aku berusaha menguasai diri dan menyambung kalimat. "Kamu udah lama di sini?"

"Iya. Aku perhatiin kamu dari tadi. Ini kartu namaku. Keep it. Aku tahu kamu hapus nomorku sejak kejadian itu. Aku akan jelasin semuanya. Sekarang yang penting kamu naik kereta dulu. Ntar ketinggalan."

"Oke," jawabku cepat. Aku lihat ke arah Deni. Dia sudah di depan pintu kereta, melihat ke arahku sambil garuk-garuk kepala. Aku kasih kode untuk menunggu sebentar. Lalu kembali ke Novia lagi. "Aku akan simpan kartu nama kamu. Banyak pertanyaan yang harus kamu jawab. Banyak banget."

Novia menatapku dengan tatapan matanya yang telah lama menaklukkan hatiku. Wajah itu menerbitkan senyumnya. "I know. I will be here."

Sesaat suasana menjadi hening. Kami sama-sama terdiam.

"Woooi!! Bro!!! Keretanya jalaaann!! teriak Deni dari pintu kereta api yang mulai bergerak.

Spontan aku menengok ke arah kereta. Benar saja, kereta api Joglosemar sudah bergerak. Sambil berlari pelan, kepalaku berbalik ke Novia. Kutunjukkan jam tangan pemberiannya dulu yang tak pernah lepas dari tangan kiriku. Kugerakkan tangan, memberinya isyarat jika aku aku akan menelponnya. Novia tersenyum kecil dan melambaikan tangannya.

Aku berlari semakin kencang mengejar kereta. Sang kereta senja. Inikah pertandanya? Akhir dari semua tanya yang ada di kepalaku? Aku tahu ada yang kamu sembunyikan dariku. Aku baru sadari itu setelah aku bertemu banyak orang dan harus bekerja dengan beragam manusia.

Aku mulai mengerti kenapa kamu memberiku jam tangan ini Nov. Sebagai pengingat. Iya, pengingat semua hal tentangmu. Baik dan burukmu. Bahwa kamu juga manusia. Lebih dari itu. Kamu seorang wanita yang terlalu pandai menyimpan rahasia hingga aku yang bodoh ini hanya bisa merasa terluka.

Waktu yang akan menjawab semuanya. Seiring berjalannya waktu, akan ada lebih banyak hal terbuka untuk aku ketahui. Inilah waktunya aku membuka pintu-pintu baru bagi kita berdua. Bukan aku atau kamu. Kita.

Tapi sekarang beri aku waktu. Aku harus mengejar kereta senja sialan ini. Aargh!!

Ilustrasi: triptotrip.co
Ilustrasi: triptotrip.co

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun