Saat aku masih terbius oleh curahan kalimat bijak Ibu, sesosok tubuh berdiri di samping tempat dudukku. Aku perhatikan kakinya lalu bergerak ke atas. Novia!Â
"What?!" teriakku dalam hati. Aku gerakkan kepalaku ke Ibu. Ibu hanya tersenyum kecil.Â
"Ibu tahu kalau Via mau kesini?" tanyaku setengah berbisik pada Ibu dengan pandangan menyelidik.
Ibu yang merasa menjadi tersangka lantas menjawab, "Ya ndak to Al. Mosok ya Ibu yang ngasih tahu..."
Aku masih celingukan mencari sosok lain.
Novia yang tahu kalau aku mencari seseorang berkata, "Iya, Irfan yang bilang ke aku semalam. Aku cuma sebentar kok. Cuma mau kasih ini."
Tampak sebuah kotak ditangannya. Diberikannya padaku. Aku tak bergeming.
"Apa ini?" tanyaku agak meninggi karena masih ingat isi suratnya semalam.
"Sebuah pengingat. Aku tahu kamu kecewa. Tapi aku berharap ini bisa membuatmu belajar tentang sesuatu. Udah terima saja." Novia menjawab pertanyaanku dengan nada tenang lalu mengambil tangan kananku, sedikit memaksa untuk menerima pemberiannya. Aku berontak.
Tanpa aku duga, Ibu ikut menahan tanganku dan Sandra tiba-tiba juga muncul di sampingku dengan mata melotot seolah memerintahku agar menerima pemberian dari Novia.
Meskipun diliputi kemarahan, aku masih bisa berpikir jernih untuk tidak melukai tiga wanita paling berharga dalam hidupku. Aku hentikan gerakan tanganku dan menerima kotak terbungkus rapi oleh kertas warna putih dengan pita emas itu.