Mohon tunggu...
eko sumando
eko sumando Mohon Tunggu... -

orang biasa :)

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Revealed Preference: Ekonomika Penilaian Calon Gubernur Jakarta

28 Maret 2016   08:43 Diperbarui: 28 Maret 2016   09:04 645
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai warga Jakarta, sangat menarik bagi saya untuk memperhatikan animo masyarakat menyambut Pemilihan Gubernur DKI Jakarta yang sebenarnya masih 1,5 tahun lagi. Hingar bingar dipertontonkan bukan hanya oleh para bakal calon gubernur di media elektronik tetapi juga masyarakat di media sosial. Hingga saat ini, baru Ahok yang berani memastikan diri maju secara independen bersama “Teman Ahok” sementara calon yang lain sibuk safari politik, tampil di media sebagai narasumber tapi belum ada kepastian maju di Pilgub DKI 2017 baik dengan partai atau independen. Hal ini mungkin disebabkan terbatasnya kemampuan si calon dan partai politik untuk menilai preferensi warga Jakarta.

 

Siapapun mengerti DKI bukan hanya etalase keberagaman Indonesia, tetapi juga etalase politik, dan ini penting bagi partai untuk menunjukkan kapasitasnya kepada masyarakat Indonesia. Tidak berlebihan apabila partai sekaliber PDI-P, Gerindra, PKS, Demokrat dan Golkar pun masih mengulur waktu dan mengukur kekuatan calon yang ada dengan preferensi masyarakat. Saat ini alat ukur preferensi warga terhadap bakal calon yang diandalkan oleh partai politik hanya survei, baik yang dilakukan lembaga independen maupun partai.

 

Dalam ilmu ekonomi survei adalah salah satu metode penilaian yang diterapkan pada social cost and benefit analysis (SCBA) yang mengandalkan stated preference (Boardman, 2015). Dalam hal calon gubernur Jakarta, metode ini mengandalkan stated preference atau preferensi yang dinyatakan secara lisan oleh masyarakat untuk mengukur kekuatan permintaan masyarakat atas calon gubernur tertentu. Kelemahan metode ini sederhana: yang ditanya bisa berbohong.

 

Untuk mengurangi kelemahan tersebut, ada sudut pandang lain yang digunakan SCBA untuk melakukan penilaian yaitu revealed preference. Jika stated preference adalah preferensi yang dinyatakan, revealed preference adalah preferensi yang dilakukan. Varian (2010) dalam Intermediate Microeconomics menjabarkan bahwa revealed preference adalah preferensi yang ditunjukkan oleh konsumen ketika ia memilih membeli barang tertentu yang lebih mahal dibanding membeli barang yang lebih murah dari pilihan yang tersedia. Artinya disini ada pengorbanan lebih dibanding stated preference.

 

Revealed preference berasal dari dua konsep penting, yaitu: willingness to pay (WTP) atau kemauan orang untuk berkorban/membayar dan willingness to accept (WTA) atau kerelaan orang menerima sesuatu. Dalam axioma ekonomika klasik WTP selalu lebih besar dari WTA (Varian, 2010). Berbicara tentang Pilgub DKI, WTP mewakili berapa harga yang warga mau korbankan demi memenangkan seorang calon gubernur sedangkan WTA mewakili berapa harga yang warga ingin terima untuk memilih calon tertentu.

 

Lebih konkritnya lagi kita dapat melihat Pilgub DKI 2014 lalu. Entah disengaja atau tidak, metode revealed preference dipraktekkan pasangan Jokowi dan Ahok saat Pilgub DKI 2014 dengan menjual kemeja kotak-kotak. Jumlah kemeja kotak-kotak yang terjual adalah tolok ukur WTP yang menjadi revealed preference masyarakat terhadap calon gubernur pilihannya. Dilain pihak, barang-barang pemberian seperti kaos dan konser dangdut gratis bahkan uang suap yang sesungguhnya bukanlah ungkapan preferensi warga adalah tolok ukur WTA. WTP mewakili orang yang siap “membayar” sedangkan WTA mewakili orang yang rela “dibayar”.

 

Penilaian revealed preference lebih akurat daripada stated preference. Contoh sederhana, seandainya orang menawarkan uang ke dua orang, A dan B, untuk memilih calon gubernur tertentu, dalam SCBA uang tersebut adalah harga suara (WTA) dua warga tersebut, mereka bisa bilang iya, menerima uangnya tapi di bilik suara mencoblos calon yang berbeda, karena apa? Karena preferensinya unrevealed hanya stated. Namun, berbeda jika seseorang menawarkan ke A dan B untuk membeli sebuah kemeja sebagai lambang dukungan calon tertentu. A dan B akan mengungkap preferensinya secara gamblang. Seandainya salah satu dari warga tersebut membeli kemeja dukungan artinya warga tersebut mengungkap preferensinya dan willing to pay untuk pilihannya. Sebagai makhluk rasional kecil kemungkinan dia mencoblos calon gubernur lain karena tentunya dia tidak ingin pengorbanannya (harga yang dia bayar) menjadi sia-sia.

 

Konsep revealed preference ini sudah dipraktekkan Teman Ahok dengan menjual merchandise ahok berupa kaos, gelang dan sebagainya dan Laporan Keuangan merekapun menunjukkan hasil penjualan merchandise yang signifikan, yaitu 297 juta rupiah dalam waktu 5 bulan. Ini menunjukkan banyak warga bersedia berkorban/membayar demi terpilihnya Ahok. Oleh karena itu, satu saran untuk partai politik dan calon gubernur lain jika ingin melakukan penilaian preferensi warga Jakarta yang lebih akurat. Cobalah berjualan aksesoris dengan bergambar Yusril, Adhyaksa, Sandiaga dan bahkan Ahmad Dhani sebagai calon gubernur dan lihat sendiri berapa banyak yang mau beli.

 

eko sumando

warga jakarta

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun