Saya akui, saya awam mengenai perminyakan dan hal-ihwal di sekitarnya. Mungkin karena ketidakfahaman saya itu pula, saya termasuk yang mengalami kebingungan ketika mengikuti pemberitaan di seputar kenaikan harga elpiji 12 kg. Berikut ini dua poin (di antara sekian banyak) kebingungan saya, saya keluhkan dalam kapasitas saya (ehm ehm) ... sebagai orang awam:
Kebingungan pertama
Di dalam amar keputusannya menaikkan harga elpiji, Pertamina menyebutkan kerugian sebesar Rp 7,73 triliun selama periode 2011 hingga Oktober 2012 sebagai alasan utama. Ini bagi saya membingungkan, karena secara keseluruhan sebagai korporasi, Pertamina membukukan laba hampir Rp 26 triliun di tahun 2012 (laporan keungan Pertamina tahun 2012 dapat dilihat di tautan ini. Silakan disimak hal. 10 laporan tersebut). Jadi apa salahnya merugi di salah satu lini usaha (dalam hal ini elpiji 12 kg (?)) namun secara keseluruhan masih membukukan laba bersih sekitar tiga kali lipatnya? Apakah Pertamina mengharuskan semua lini usahanya untuk mendapatkan laba? Idealita sebuah korporasi memang seperti itu. Namun harus diingat, Pertamina berurusan dengan hajat hidup orang se-Indonesia, Pertamina juga merupakan perusahaan milik pemerintah. Sebagai perusahaan milik pemerintah, bukankah sudah seharusnya Pertamina memiliki fungsi sosial– misalnya dengan menjadi penjaga stabilnya pasokan kebutuhan dasar masyarakat untuk masak-memasak berupa elpiji –? Di sisi lain, secara keseluruhan, toh Pertamina masih menangguk laba bersih, bukan?
Kebingungan kedua
Diwartakan, salah satu pertimbangan penaikan harga elpiji 12 kg adalah adanya rekomendasi dari BPK. Saya kutip isi salah satu berita, di bawah ini.
Dalam laporan pemeriksaan BPK dilaporkan, Pertamina menderita kerugian hingga Rp 7,7 triliun selama periode 2011-2013. Kerugian ini muncul setelah Pertamina menjual harga gas Elpiji 12 Kg di bawah harga keekonomian.
Dengan temuan tersebut, menurut Dahlan, BPK merekomendasikan Pertamina untuk melakukan kenaikan harga dengan batas waktu 60 hari.
Selengkapnya silakan klik tautan ini.
Ini juga membingungkan saya. Betulkah rekomendasi BPK seperti itu bunyinya? Masak iya BPK mengurusi korporasi dari aspek untung-rugi an sich, dan bukan ada-tidaknya salah-kelola keuangan (sebangsa indikasi korupsi ataupun aset yang hilang) ataupun pula inefisiensi, misalnya? Masak iya rekomendasi BPK berupa “... melakukan kenaikan harga ...”? Ataukah, jangan-jangan, BPK hanya dijadikan dalih di dalam “opera” bernama kenaikan harga elpiji 12 kg ini? Mengenai BPK, tautan ini barangkali dapat sedikit membantu pemahaman kita mengenainya.
Bagaimana menurut rekan-rekan Kompasianer lainnya? Bingung jugakah Anda?
NB:
Sewaktu menuliskan draft ini, istri saya mengingatkan, "Yah, sebaiknya ditanyakan dulu kepada kawan-kawan BPK. Jangan-jangan memang BPK memiliki tugas dan wewenang seperti itu (yaitu merekomendasikan dinaikkannya harga elpiji 12 kg sebagai solusi terhadap terus meruginya Pertamina di lini tersebut, eko). Kalau seperti ini, kesannya kok provokatif 'gitu. Apalagi banyak lho kawan-kawan BPK yang juga menjadi Kompasianer."
Saya merenung beberapa lama. Dan akhirnya saya berketetapan untuk mem-publikasi tulisan ini. Siapa tahu banyak yang betul-betul "gagal-paham" seperti saya dan berharap untuk juga mendapatkan pencerahan, entah dari mana pun datangnya. Mudah-mudahan dengan tulisan ini - dan pertanyaan-pertanyaan serupa dari kawan-kawan yang lain - penjelasan yang memadai dapat kita peroleh, dan kebingungan pun berubah menjadi, "Ooo, seperti itu ya letak persoalannya."
***oooOooo ***
SO, 070114
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI