Mohon tunggu...
Eko Setiawan
Eko Setiawan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Tukang makan namun tetap langsing :D

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Kinerja Jokowi-Basuki dan Metoda Lovelock

15 Januari 2014   00:08 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:50 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13897188851311712876

Tidak terasa sudah lebih dari setahun Jokowi-Basuki menjalankan tugasnya sebagai nahkoda perahu besar bernama DKI Jakarta. Dan telah dinyatakan oleh Jokowi, tugas tersebut dijalankan dengan disertai oleh proses pemantauan. Pemantauan akan dilakukan sedemikian hingga sebuah ukuran unjuk kerja yang oleh sang Gubernur dinamakan Government Service Index dapat diperoleh. Entah, apakah proses pengukuran terkait unjuk kerja ini telah dilakukan.

Masih tentang pengukuran unjuk kerja sang Gubernur-Wakil Gubernur, saya pernah menuliskannya di Kompasiana di dalam sebuah tulisan yang saya beri judul Kinerja Jokowi-Basuki dan Pengukurannya. Tulisan tersebut saya buat di saat masa jabatan sang Gubernur-Wakil Gubernur belum genap satu tahun. Salah satu yang saya singgung sekilas di dalam tulisan tersebut adalah sebuah metoda pengukuran kualitas pelayanan yang saya namai metoda Lovelock (mengacu kepada nama pencetus alat ukur tersebut). Tulisan kali ini menyajikan metoda dimaksud secara lebih rinci.

Sebagaimana tersaji di dalam buku Principles of Service Marketing and Management, edisi 2 (2002), Lovelock menyebutkan adanya 7 gap di dalam perancangan, produksi, dan pemberian pelayanan/ jasa. Gambar di bawah ini adalah bentuk diagramatis dari model Lovelock mengenai 7 gap/ kesenjangan tersebut.

[caption id="attachment_306032" align="aligncenter" width="500" caption="Metoda Lovelock (sumber: Lovelock, 1994, di dalam Lovelock dan Wright, 2002)"][/caption]

Masing-masing gap dijelaskan sebagai berikut (Lovelock dan Wright, 2002):

[1].Gap pertama adalah knowledge gap, yaitu perbedaan antara apa yang diyakini oleh penyedia jasa sebagai harapan pelanggan dengan harapan dan keinginan pelanggan yang sesungguhnya.

[2].Gap kedua adalah standards gap, yaitu perbedaan antara persepsi manajemen tentang harapan pelanggan dan standar kualitas penyediaan jasa yang ditetapkan oleh manajemen.

[3].Gap ketiga adalah delivery gap, yaitu perbedaan antara standar pemberian pelayanan yang telah ditentukan sebelumnya dengan kinerja pemberian pelayanan aktual.

[4].Gap keempat adalah internal communication gap, yaitu perbedaan antara apa yang dipikirkan oleh bagian periklanan dan penjualan perusahaan sebagai sifat khas, kinerja, dan level kualitas pelayanan dari produk/ jasa dengan apa yang mampu disediakan oleh perusahaan.

[5].Gap kelima adalah perception gap, yaitu kesenjangan antara apa yang disediakan secara aktual dengan apa yang dirasakan oleh pelanggan.

[6].Gap keenam adalah interpretation gap, yaitu perbedaan antara janji aktual di sebagaimana dikomunikasikan oleh penyedia layanan dengan persepsi pelanggan mengenai janji tersebut.

[7].Gap ketujuh adalah service gap, yaitu kesenjangan antara apa yang diharapkan oleh pelanggan persepsi mereka tentang layanan yang mereka terima.

Menurut Lovelock dan Wright (2002), service gap merupakan kesenjangan paling kritis. Hal ini demikian karena, masih menurut keduanya, kesenjangan dimaksud melibatkan penilaian keseluruhan oleh pelanggan terhadap pelayanan. Tujuan utama di dalam peningkatan kualitas pelayanan adalah mempersempit service gap ini sekecil mungkin. Secara singkat, masih menurut Lovelock dan Wright (2002), hal tersebut dapat ditempuh dengan memperkecil keenam kesenjangan yang lain.

Pada sebagian besar perusahaan, persoalan utama adalah bahwa standar pelayanan ditentukan oleh manajer operasi yang tidak memiliki pengetahuan tentang keinginan dan harapan pelanggan (Lovelock dan Wright, 2002). Oleh karena itu, keduanya berpendapat bahwa perancangan standar pelayanan serta pengukuran kinerja berdasarkan standar tersebut hendaknya mengikutsertakan bagian pemasaran. Sebuah pendapat yang beralasan, karena tugas utama bagian pemasaran sejatinya adalah mendapatkan keinginan pelanggan.

Di dalam konteks pemerintah DKI Jakarta, boleh jadi banyak hal yang dilakukan oleh pemda DKI untuk melayani warga DKI dirancang dan tanpa mengindahkan kemauan warga DKI itu sendiri. Pada titik inilah blusukan yang dilakukan oleh Jokowi (atau apa pun metoda “belanja keinginan warga” yang digunakan) menemukan signifikansinya. Dengan kata lain, temuan-temuan Jokowi dari kegiatan blusukan-nya harus diakomodasi ke dalam hal-ihwal desain pelayanan di atas sebagai bagian dari upaya memenuhi harapan warga DKI. Dengan upaya ini kesenjangan antara harapan warga DKI dengan apa yang mereka rasakan dapat dikurangi. Kepuasan warga DKI adalah “imbalannya”.

***** oooOooo *****

SO, 14/01/2014

Sumber tulisan:

Lovelock, Christopher dan Wright, Lauren (2002), Principles of Service Marketing and Management, 2nd ed., Pearson Education Inc., New Jersey.

Tulisan lain mengenai “suara pelanggan”:

“Jokowi-Basuki” dan VOC

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun