Mohon tunggu...
Eko Setiawan
Eko Setiawan Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Tukang makan namun tetap langsing :D

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

TKI-ku Malang, TKI-ku Sayang*)

19 September 2013   04:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   07:42 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kemarin saya membeli printer. Dari dua buah cartridge – untuk tinta berwarna dan tinta hitam - yang ada di dalamnya, tertulis pada yang bertinta hitam: Product of Malaysia. Pada hari yang sama, saya baca di berbagai media elektronik: Bulan Januari ini (kalau tak salah ingat, tahun 2009, pen.), 2.973 TKI ilegal diusir dari Malaysia. Ribuan lainnya mengalami nasib yang sama di setiap bulannya pada bulan-bulan yang lain. Sesaat saya tercenung: Mungkin ada di antara mereka adalah tetangga saya di Tulungagung sana, atau Trenggalek, atau Malang... Dan tidak tertutup kemungkinan, bukan, bahwa kawan-kawan kita yang terusir itu ikut andil di dalam pembuatan cartridge Malaysia tersebut, yang bahkan saya gunakan di sini, di Inggris ini?

TKI-ku malang

Pasti kita semua sudah mafhum, bahwa kawan-kawan kita yang ke Malaysia itu – maupun ke negara-negara lainnya - adalah, sebagian besar, merupakan warga yang tersisih dari keras berlakunya dalil Darwin di dalam jagat pergaulan manusia: survival of the fittest. “Aku paling bisa menyesuaikan diri dengan keadaan, dan dengan demikian akulah yang berjaya”. Mereka bukan, sehingga mereka tersisih. Mereka tidak punya penghasilan memadai maupun modal produksi, pun di mata masyarakat tidak dihargai. Mereka tidak punya apa-apa, sehingga keputusan beraroma pertaruhan pun diambil: mengadu nasib ke negara lain, barangkali di seberang memberikan lebih banyak peluang. Seringkali mereka berangkat tanpa bekal uang, ketrampilan sosial, ketrampilan teknikal, pendidikan; kecuali satu: harapan akan masa depan yang lebih menjanjikan.

Namun seringkali kenyataan tidaklah seindah angan-angan. Terlibat kriminalitas – baik sebagai korban maupun pelaku -, tewas tenggelam di lautan, mengalami kekerasan dari majikan, dikejar-kejar aparat kepolisian, atau bahkan – yang sering kita dengar – menjadi obyek pemerasan.

Dan sebagiannya diusir, disuruh pulang kembali ke Indonesia. Barangkali karena dianggap mengganggu, atau bahkan dianggap – maaf – tidak pernah memberikan apa pun, kecuali masalah.

Jadi lengkap sudah. Di negara sendiri tidak dihargai, di negara asing seringkali dianggap seperti – sekali lagi, maaf - maling.

TKI-ku sayang

Padahal siapa menyangkal, bahwa mereka adalah pahlawan nasional? Trilyunan rupiah mereka berikan untuk kita di Indonesia, tempat tersayang yang tidak memberi mereka banyak pilihan. Lapangan kerja yang ada di Indonesia mereka relakan untuk diperebutkan oleh yang lain guna memperoleh - kadang hingga jumlah berlipat-lipat -kapling. Kewajiban pemerintah untuk memberikan layanan publik pun – yang sepenuh-penuhnya hak mereka sebagai warga negara - menjadi berkurang.

Bagi negara yang ditempati, kawan-kawan kita itu pun – jika penduduk setempat bersedia jujur - juga sungguh merupakan berkah dan anugerah. Mereka sudi menjadi tenaga kerja kasar dengan upah yang – menurut standar setempat – bisa dikatakan “sekadarnya”, tidak rikuh untuk berpeluh tiap hari di tengah sengatan matahari. Mereka rela untuk menjaga orang-orang jompo, yang bahkan anak-anaknya pun, ketika dihadapkan pada pilihan untuk memberikan perhatian, lebih memilih untuk bersikap “No!”. Mereka pula yang rela untuk menjaga anak-anak, ketika para orang tua sibuk bekerja sambil sekali-sekali menyambut kenyamanan-kenyamanan yang ditawarkan oleh dunia. Merekalah yang – maaf – menjadi tempat tertumpahnya rasa marah para mandor, penampung kenyinyiran dan curahan hati para lanjut usia, dan kenakalan kanak-kanak yang kadangkala melukai rasa.

Beberapa gagasan

Sudah beberapa tahun ini otonomi daerah dilaksanakan. Di tengah-tengah unintended outcomes yang jauh dari harapan - munculnya raja-raja lokal, bertambah panjangnya rantai birokrasi, dan tumpang tindihnya kebijakan antar-daerah maupun antara pemerintah daerah, pemerintah di tingkat propinsi, maupun pemerintah pusat -, pemerintah daerah memiliki potensi yang besar di dalam kaitannya dengan penuntasan persoalan buruh migran ini. Kewenangan yang relatif besar sekarang ini mestinya memungkinkan mereka untuk berkreasi dan berinovasi:

1.Penyiapan lahan usaha informal yang terkelola rapi

Kembalinya para buruh migran ini ke Indonesia – termasuk ke Jawa Timur – jelas akan menimbulkan persoalan tersendiri. Mereka membutuhkan pekerjaan untuk kelanjutan kehidupan keluarganya. Dalam hal ini, respons Pemerintah Daerah (Pemda) maupun Pemerintah Kota (Pemkot) haruslah bersifat cepat. Dan salah satunya adalah pemberian “ruang” bagi mereka – dalam arti harfiah maupun dalam arti substansi – untuk berusaha di sektor informal. Ketrampilan yang – memang dari awal berangkatnya – tidak memadai, tidak memberikan banyak peluang bagi mereka untuk bersaing memperebutkan pekerjaan dan akhirnya mendorong mereka berusaha di sektor informal. Alih-alih membiarkan proses penambahan usaha informal ini namun dilakukan tindakan-tindakan tidak manusiawi di kemudian hari, maka Pemda maupun Pemkot harus mengakomodasi mereka di dalam usaha informal ini, sekaligus bersama-sama mengelolanya secara rapi.

2.Pemberian bekal ketrampilan bagi para calon TKI

Kondisi ekonomi yang masih karut-marut di Indonesia saat ini, jelas menjadikan alternatif menghentikan arus TKI ke luar negeri menjadi tidak logis. Jadi arus keberangkatan ke luar negeri masih akan terus terjadi. Dalam hal demikian, pemberian bekal ketrampilan amatlah diperlukan. Terutama sekali adalah ketrampilan yang memang betul-betul diperlukan di negara seberang. Bahkan ketrampilan pertukang-batuan maupun pertukang-kayuan, atau pun ketrampilan menjadi pekerja rumah tangga. Apalagi ketrampilan mengasuh anak dan orang-orang yang sudah lanjut usia.

Penting sekali dalam hal ini adalah pengetahuan memadai tentang nilai-nilai budaya setempat, sehingga kasus terjadinya berbagai tindak kekerasan amat mungkin untuk ditekan. Internalisasi nilai-nilai budaya setempat juga penting dalam kaitannya dengan upaya menawarkan “nilai lebih” kepada para pengguna jasa buruh migran, sehingga andai pun ada gelombang PHK – sebagai, misalnya, dampak krisis global sekarang ini – mereka masih mempertimbangkan kelebihan ini sebagai determinan utama untuk menjadikan para buruh migran tidak tercantum ke dalam daftar tenaga kerja yang terkena PHK tersebut.

Perlu pula ketrampilan dasar-dasar penggunaan produk-produk teknologi komunikasi dan informasi, karena di mana pun saat ini, hal itu sudah menjadi kebutuhan sehari-hari. Ketrampilan ini juga mereka perlukan untuk menjalin komunikasi dengan pihak-pihak terkait di Indonesia secara mudah, misalnya dengan Balai Pelayanan Penempatan dan Perlindungan TKI (BP3TKI) maupun dengan Kedutaan Besar RI setempat.

3.Pendidikan kejuruan kewirausahaan berbasis potensi daerah

Pendidikan kewirausahaan yang berbasis potensi daerah amat diperlukan, sehingga pasca-kelulusan peserta didik akan memberikan daerah calon-calon wirausahawan baru yang handal. Alih-alih memberikan beban tambahan (atau – dalam terminologi SWOT analysis - kelemahan, weakness), mereka justru memberikan strength, kekuatan, yang baru dan segar.

Dalam kaitan ini, pembukaan sekolah-sekolah kejuruan dengan spesialisasi kewirausahaan – atau penambahan jurusan kewirausahaan di sekolah-sekolah kejuruan yang sudah ada – amat diperlukan, berbarengan dengan sosialisasi “Sekolah kejuruan bukanlah sekolah nomor dua; Bila tidak berencana melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, maka pilihlah sekolah kejuruan”.

Kewirausahaan yang bersandar pada potensi daerah merupakan salah satu strategi untuk menanggapi semakin meluasnya globalisasi. Meminjam istilah Prof Eko Budiardjo (mantan Rektor Undip Semarang), salah satu respons cerdas terhadap globalisasi adalah glokalisasi, yang dalam konteks kewirausahaan ini dapat dipahami sebagai “menawarkan kepada dunia global produk-produk (sebagai hasil kewirausahaan) yang berciri-khas lokal”.

Pilihan ini, mudah diduga, baru akan dirasakan manfaatnya dalam jangka waktu yang relatif panjang. Ini juga merupakan pilihan yang bersifat mengurangi kemungkinan harus-perginya TKI ke luar negeri di masa-masa mendatang.

4.Pembukaan bidang usaha baru/ penguatan bidang usaha lama berbasis potensi daerah

Masih dalam kaitan dengan butir ketiga, diperlukan pembukaan bidang usaha baru/ penguatan bidang usaha yang sudah ada sebelumnya dan bersandarkan pada potensi daerah sebagai salah satu stength penting di dalam konteks SWOT analysis di tingkat daerah. Selain berbalut glokalisasi, dalam hal ini juga penting adanya semangat regiokalisasi: menawarkan, pada tataran regionalantar negara sekawasan maupun antar daerah di Indonesia, produk dengan keunggulan lokal yang tidak dijumpai kecuali di tempat di mana produk unggulan tersebut dihasilkan.

Dalam hal ini koordinasi antar-daerah menjadi penting, sehingga lahan garapan unggulan milik satu atau beberapa kabupaten/ kotamadya tidak akan pernah sama persis dengan bidang unggulan dari kabupaten/ kotamadya lainnya. Sebagai contoh, pisang Agung dengan berbagai inovasi produknya biarlah menjadi bidang usaha Kabupaten Lumajang. Sebaliknya, luasnya tambak perikanan di Gresik maupun Sidoarjo biarlah tetap menjadi priviledge mereka untuk kemudian menghasilkan berbagai produk perikanan yang bahkan mampu mengglobal, dan tidak perlu daerah-daerah lain menirunya.

Sama halnya dengan butir pertama, butir kedua ini juga memerlukan kesabaran untuk bisa dilihat hasilnya, dan juga bersifat memberikan “kanal alternatif” bagi persoalan lapangan kerja di kemudian hari.

5.Sinkronisasi, koordinasi, dan infrastruktur

Mutlak diperlukan di dalam mendukung keberhasilan kesemua usulan di atas adalah adanya koordinasi dan sinkronisasi antar-daerah maupun antar-propinsi. Dalam hal ini, peranan Pemerintah Propinsi amat diperlukan. Di samping itu, tersedianya infrastruktur – transportasi yang berupa jalan raya, angkutan laut, angkutan udara, dermaga, maupun birokrasi perijinan yang memudahkan – juga memerlukan kerja-kerja pemerintah di tingkat propinsi.

Menuggu kiprah Gubernur baru

Saya pernah menyaksikan debat kandidat calon Gubernur Jawa Timur yang sekarang ini (Januari 2009? pen.) – sedihnya – masih juga belum selesai berebut kursi. Dan saya ingat persis, di antara janji-janji yang bertebaran itu, adalah janji penciptaan lapangan kerja dan janji pembangunan (terutama) kawasan selatan – yang memang masih relatif tertinggal dibandingkan saudara-saudaranya di tengah maupun di (sebagian) pantai utara. Bersanding dengan problem pelik lain yang menghadang, patut ditunggu apakah agenda persoalan TKI ini menjadi salah satu prioritas penanganan, sinergis dengan upaya-upaya pemenuhan janji-janji kampanye yang lain.

***** Sekian *****

*) Tulisan dibuat hampir 5 tahun yang lalu; dilakukan (sangat sedikit) editing pada 18/09/13

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun