Mohon tunggu...
Eko Pramono
Eko Pramono Mohon Tunggu... pegawai negeri -

Seorang guru yang baru belajar menulis. Dengan langkah kecil menuju obsesi besar yang akan saya raih di suatu saat nanti.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Sepeda Baru Anakku dan Ciuman di Pipiku

16 Desember 2012   16:50 Diperbarui: 24 Juni 2015   19:32 220
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Sore itu hujan belum lagi reda, guyuran air seakan-akan ditumpahkan dari langit, hentakan angin disertai sesekali kilat dan guntur tak henti-hentinya menyisakan dingin yang tiada tara. Saya masih meringkuk di tempat tidur sambil menahan sakit yang terasa sejak beberapa hari. Meski hanya penyakit kecil berupa Sariawan, namun tak urung membuat sekujur badan terasa linu dan lungkrah. Berkali-kali anak bungsu saya yang baru kelas 1 SD mengintip dengan malu-malu, barangkali menengok apakah saya masih tertidur atau sudah bangun.

Ya, sore itu saya sudah berjanji akan mengajaknya jalan-jalan membeli sepeda, karena sepedanya telah lama rusak tidak bisa dipakai. Dari tatapan matanya saya tahu betul dia sangat berharap supaya ayahnya segera bangkit dari tempat tidur dan mengajaknya ke toko sepeda, memenuhi permintaannya. "Dasar anak kecil, apa tidak tahu kalau hari sedang hujan lebat. Apa tidak melihat kalau bapaknya baru terbaring menahan sakit?" tiba-tiba pikiran negatif menyeruak di kepala saya. Seakan-akan ingin menumpahkan marahnya kepadanya. Namun naluri kebapakan saya lebih dulu mengingatkan, bahwa anak saya sudah cukup toleran, terbukti sejak tadi dia hanya mengintip dari balik pintu, tidak membangunkan diriku. Bukankah dia tidak berani membangunkan karena tahu ayahnya baru tidak enak badan?

Dengan kesadaran itulah, saya segera bangun dan beranjak dari tempat tidur. Kuhampiri anakku dan kupeluk badan mungilnya.
"Bapak jadi mengajak adik jalan-jalan tidak?" mulut kecilnya bertanya dengan penuh harap.
Kutatap matanya yang bening. Wajah polosnya membuat hatiku begitu damai.
"Adik mau menunggu? Ayah mandi dulu ya?"
Dia hanya mengangguk gembira.

Sore itu, di bawah guyuran hujan yang semakin deras, kami meluncur ke ibukota kabupaten untuk menunaikan janji dan mengabulkan permintaannya membelikan sepeda baru. Di sepanjang jalan tak henti-hentinya anakku bercerita tentang harapannya memiliki sepeda baru. Dia bercerita bahwa sudah banyak teman-temannya yang memiliki sepeda baru, tinggal dia sendiri yang belum memiliki. Ah... hatiku terasa diiris sembilu saat mendengarkan ceritanya.

Singkat cerita, sebuah sepeda berwarna pink akhirnya menjadi pilihannya. Meskipun hujan belum reda anakku tetap ngotot mengajak pulang. Barangkali dia sudah tidak sabar dengan sepeda barunya. Sekali lagi, kami menuruti keinginannya meski harus berbasah-ria menerjang hujan yang semakin deras.

"Pak, saya ingin mencium bapak", kata anakku ketika sampai di rumah. Belum sempat saya menjawab pertanyaan, 2 ciuman mesra anakku mendarat di pipiku. Kembali aku tatap wajahnya yang polos. Kubalas ciumannya dengan senyuman manis. Rasa sakit sekujur tubuh akibat menahan sariawan seakan-akan lenyap begitu saja. Hanya rasa bahagia dan syukur yang menyeruak di relung-relung hatiku. Apalagi ketika kulihat anakku mendekati sepeda barunya dan berulangkali mengelus serta meraba penuh kebahagiaan.

Tiba-tiba teringat olehku nasehat almarhum ayahku (semoga arwah beliau mendapat tempat yang mulia di sisi-Nya. Amiin). "Bila anakmu memiliki sebuah keinginan dan dia tidak mau mengucapkan keinginan tersebut, segeralah engkau mengabulkannya, jangan sampai menahan keinginannya lebih lama terpendam di hati, sebab dia telah mampu menahan diri. Apakah engkau tega "menyiksa" anakmu dengan cara dia memendam lebih lama keinginannya di dalam hati?" Nasehat itu tiba-tiba kembali terngiang di telingaku. Dan saya bersyukur karena hari ini saya telah memenuhi satu keinginan sederhana anakku dan tidak membiarkan keinginannya terpendam lebih lama di hati.

Sekali lagi, kutatap wajah anakku dan sepeda barunya bergantian.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun