Mohon tunggu...
Eko Oesman
Eko Oesman Mohon Tunggu... Freelancer - freelancer

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja-Pram

Selanjutnya

Tutup

Gaya Hidup Artikel Utama

Berkaca dari Budaya Kerja Orang Jepang

2 Maret 2017   07:59 Diperbarui: 3 Maret 2017   06:00 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Mata saya nanar menatap empat point yang akan di rapatkan bulan depan. Salah satunya adalah budaya kerja. Topik enak untuk didiskusikan berjam-jam. Bergelas-gelas kopi. Atau berpuluh-puluh buku teori. Prakteknya sulit bin susah. Males bin nggak mulai-mulai. Ada apa ya? Ada apa dengan budaya kerja?

Pikiran saya melayang ke seorang teman dari Jepang. Sebut saja namanya Nishi. Beliau perokok berat. Ketika itu dia menjadi salah satu expert di BPS. Ketika hasrat merokoknya tiba, dia segera keluar ruangan dan berdiri di sudut gedung. Masih di seputaran teras. Tapi sudah di luar. Aman untuk kegiatan sedot asap ini. Seperti biasa tidak banyak tersedia tong sampah yang ada asbak rokoknya di bagian atas.

Bagi perokok berat seperti Nishi san tadi hasrat merokok itu sudah terjadwal. Biasanya selepas makan sebatang. Sambil ngopi dua batang. Jumlah batang akan meningkat seiring susahnya ide muncul. Okay, kita tidak bahas rokoknya. Tapi si Nishi ini sudah menyiapkan asbak kecil berbentuk tabung permen untuk menampung sisa puntung rokoknya. Tidak buang sembarangan. Subhnallah, ini orang kok rapih banget, cinta kebersihan gitu loh. Di situ saya merasa tertampar.

Suatu hari di tengah kota Chiba, satu jam perjalanan dari Tokyo, saya dan pak Kepala BPS waktu itu makan malam di sebuah restoran.  Di Chiba banyak tersedia restoran halal. Kota ini memang di desain menjadi salah satu daerah destinasi wisata muslim. Kebetulan waktu itu sudah agak larut. Restorannya menjelang tutup. Beberapa pelayan sedang mengelap meja.

Satu orang cewe menarik perhatian saya. Maap jangan berharap saya bicara cantik atau lainnya. Faktanya dia memang cantik seperti gadis Jepang kebanyakan. Yang menarik adalah tugasnya. Setelah membersihkan meja, mulailah dia mengelap kursi. Setiap kaki kursinya memakai sepatu. Sesuai SOP mulailah dia membuka satu persatu sepatu kursi yang berbentuk kotak plastik seukuran 4x4 cm itu. Sepatu di lepas, kakinya di lap satu per satu. Di situ kok saya merasa gimana gitu. Bersih banget mereka sampai kaki kursi aja diperlakukan seperti itu. Ndak usah tertampar lagi. Sakit!

Bergeser ke Tokyo, siang itu kami makan di salah satu pusat belanja terkenal. Walau begitu makannya tetap aja di warung. Warungnya terselip di tengah toko-toko baju dan lainnya. Seperti biasa. Kedatangan kita disambut mesin karambol. Maksudnya layar monitor untuk memilih menu. Setelah memasukkan koin yen lalu sebuah struk keluar. Kuitansi kecil itu lalu diserahkan langsung ke chefnya. Sudah tua. 

Sambil bersenandung lagu Kokoronotomo, dia mengambil struk itu dan menyuruh kami duduk. Doi hanya berdua dengan istrinya. Sama-sama tua. Tugas si umi hanya cuci piring. Abinya yang masak. Setelah beberapa menit, dia teriak. Saya ndak ngerti. Tapi dari lambaian tangannya saya paham. Makanan kami dah siap. Saya langsung bergerak mengambil. Di atas nampan selain tissu juga ada kain lap. 

Selesai makan semua piring, gelas harus kita bereskan sendiri. Lap tadi digunakan untuk membersihkan meja. Saya tau itu setelah mengintip meja sebelah. Alamak. Efisien sekali nich. Biaya produksinya kecil banget. Saya langsung membayangkan margin keuntungannya. Darah Padang saya langsung bereaksi. Tapi pointnya bukan di untungnya. Kok bisa mereka punya budaya seperti itu.

Kembali ke budaya kerja tadi. Mohon maap banget saya tidak mau beradu argumen. Takut minder saya. Teorinya banyak. Saya cuman memulainya. Dari mana ya? Saya sudah datang lebih pagi. Pulang paling akhir setelah anak buah pulang. Sesekali saya sudah memberi motivasi. Mendengar keluhan mereka. Pake bahasa gaul mereka. Ngupi dan makan siang bareng mereka. Ups saya lupa. Mungkin saya jarang traktir makan mereka. Hm...tapi saya masih kurang yakin. Apakah ini termasuk budaya kerja. Oalaa..

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Gaya Hidup Selengkapnya
Lihat Gaya Hidup Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun