Mohon tunggu...
Eko Oesman
Eko Oesman Mohon Tunggu... Freelancer - freelancer

Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja-Pram

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kosongkan Gelas, Lalu Menulislah!

22 Oktober 2017   19:03 Diperbarui: 22 Oktober 2017   19:17 570
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Mengapa harus dikosongkan gelasnya bi? sergap si cantik Saffa menyela tausiah mingguan saya. Iya nak, jika gelas pikiran kamu penuh maka semua untaian kata nasehat yang Abi sampaikan tidak akan masuk ke dalam otak dan pikiran alam sadar kamu, jawab saya laksana psikolog andal. Dalam hati kamu akan berkata, "ah ini mah sudah sering Abi bicarakan" atau "yah itu lagi, itu lagi, aku kan sudah paham". Begitulah nak, jika gelasnya penuh maka tak ada lagi masukan bernas yang bisa menyelip dalam pikiran kita.

Kejadian gelas penuh itu juga terjadi di dalam kelas menulis minggu lalu. Tips dan tricknya sih tidak ada yang baru. Saya sudah pernah me ndengarnya langsung dari Asma Nadia (novelis favorite saya), Kadir Ruslan (pemantik inspirasi menulis saya) Iswadi (Inspirator menulis juga bisa jadi lahan bisnis) dan orang tua kita di BPS pak Sairi (sang orator ulung tiada duanya). Tayangan power pointnya hampir sama. Menulislah dengan hati, banyak membaca, istiqomah (konsisten), bandel (ditolak puluhan kali tetap saja kirim dan kirim lagi). Tak ada istimewanya. Begitulah kejadian kalau gelas kita penuh. Semua terlihat biasa saja.

Lalu, bagaimana cara mengosongkannya?, sementara pikiran sudah dipenuhi rasa "ah kalo itu saya juga bisa" yang menggumpal di ubun-ubun batok kepala ini? Merendahlah serendah-rendahnya. Ilmu saya masih cetek, masih jauh, boro-boro menulis opini, bikin status saja masih belepotan, saya ini cuma penulis buku laporan, saya baru punya blog lima tahun, itupun jarang dikunjungi dan sempat berdebu, dan ditutup dengan saya ini apalah. Apakah itu membuat anda melemah? Inferior? Tidaklah yaw. Itu strategi agar apapun yang disampaikan para mentor masih bisa diterima otak anda. Jika gagal maka selama workshop anda akan lebih banyak mengintip HP, menggambar nggak jelas, merem melek dan tentu saja keluar masuk seperti ingus.

Masalahnya adalah penampilan sang mentornya mas bro? Udah tua dan tidak menarik. Bicaranya datar, cuma berdiri di satu tempat, minim joke, dan monoton. Apalagi power pointnya juga terlalu penuh dengan kalimat, menjemukan. Ya begitulah, ketika gelas itu penuh, apapun akan terlihat menyebalkan, nggak eye catching, nggak ada lucu-lucunya, garing dan bawannya pingin pulang saja.

Maka dari itu, wahai calon peserta workshop menulis berikutnya. Siapa pun yang terpilih untuk dipanggil ke Jakarta, mulailah belajar mengosongkan gelasnya dari sekarang. Belajar menerima masukan dari orang lain, istri atau suami bahkan dari anak-anak kita sekalipun. Jangan katakan kepada mereka, "sudahlah nak Abi itu sudah lebih dulu makan asam garam kehidupan, Abi itu duluan lahir dari kamu, Abi itu sudah paham, Abi mengerti maunya kamu, walau tidak melahirkan Abi mengerti siapa kamu". Jika itu yang anda lakukan, bersiaplah, anda akan terkubur dengan segala "kebisaan" anda yang hanya seujung jari itu. Barakallah.

22/10/2017

Pukul 06.45

#tulisanEO

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun