Mohon tunggu...
Eko Fery Hendrayanto
Eko Fery Hendrayanto Mohon Tunggu... -

Saya seorang karyawan di Jenderal Soedirman Center.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Bugiakso : Soedirman Seorang Ksatria Layaknya Arjuna

12 Februari 2012   03:08 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:46 191
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Karma nevad ni adikaraste ma phaleshu kada chana (Kerjakanlah kewajibanmu dengan tidak menghitung-hitungkan akibatnya) - kitab Baghawad Gita

Sorot mata Arjuna menampakkan kesedihan dan kegalauan kala di tempat ia berkemah Tegal Kurusetra, telah berhadapan keturunan Abiyasa yang siap berperang dan akan saling membunuh. Pandawa dan Kurawa akan berperang dalam sebuah perang Batarayudha untuk memperebutkan kembali kehormatan dan takhta kerajaan Astina. Arjuna menyadari sebagai putra Pandawa, Ia memiliki tugas besar untuk mengembalikan kehormatan keluarganya. Ia pun sadar bahwa ia harus mengahadapi Bisma, gurunya serta Adipati Karna, pamannya yang berada di pihak Kurawa. Arjuna sungguh tak sanggup saat harus membunuh saudara-sudaranya sendiri. Saat itulah Krisna mengajarkan ayat kitab Baghawad Gita tersebut pada Arjuna bahwa perang keluarga tersebut adalah takdir yang tak dapat dihindarkan. Demi kehormatan keluarga Pandawa, tiada cara lain selain mengalahkan Kurawa meskipun banyak risiko menghadang.

**

Mungkin Jenderal Soedirman menghadapi situasi ini kala akan bergreliya. Bukan karena menganggap Belanda sebagai saudara, bukan itu esensinya karena kita tahu siapakah musuh utama Indonesia kala itu. Kegalauan itu muncul dalam hati Soedirman kala memikirkan risiko yang akan ia tempuh jika ia ikut bergreliya.

Risiko pertama, sebagai seorang suami dan bapak bagi putra dan putrinya, tentu ada keraguan akan keselamatan keluarganya. Risiko kedua, sebagai seorang pribadi yang tengah sakit, orang-orang di sekitar beliau memikirkan benar kesehatan Pak Dirman saat perang. Dalam kondisi perang dan tengah kritis, hal paling buruk dapat terjadi pada beliau.

“Rungokno kandaku ya ngger, merga arep tak tinggal lunga, Kang prihatin nanging gembira ngupakara manungsa lara” ~ Soedirman

Kalimat tersebut seakan menjadi gambaran pribadi Pak Dirman. Beliau sadar mengemban tugas sebagai seorang kepala keluarga yang hendaknya melindungi anggota keluarganya. Namun beliau merasa terpanggil untuk tugas dan tanggung jawab yang lebih besar, yakni sebagai Panglima Besar yang berjuang untuk rakyat Indonesia. Beliau pun menyadari kesehatan yang lemah, namun ia menganggap itu sebagai sebuah takdir dari Allah.

Sebagai seorang Panglima Besar, Pak Dirman memiliki jiwa ksatria, sama halnya dengan Arjuna. Beliau berusaha melawan penyakitnya saat berperang. Beliau juga meninggalkan keluarga saat perang tengah berlangsung demi tugas yang lebih besar sebagai seroang Panglima Besar. Sejalan dengan petikan ayat dalam kitab Baghawad Gita, Jenderal Soedriman benar-benar menjalankan tugas beliau tanpa memikirkan akibat dan kemungkinan buruk yang akan terjadi. Bagi seorang Panglima Besar APRI, melindungi segenap tumpah darah negeri ini, berjuang untuk rakyat merupakan tugas utama yang harus dijalankan. Tujuan akhirnya tidak lain demi kehormatan Indonesia. (Warihutomo JSC Media)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun