Tumbuh pesatnya industri kelapa sawit nasional tak dapat dilepaskan dari peranan perkebunan rakyat yang menyumbang hampir 40% dari total produksi nasional. Tak dapat dipungkiri, keringat mereka ikut andil dalam memasukkan devisa sekitari US $ 11,64 miliar pada tahun lalu sehingga kas negara dapat terisi dan pembangunan memungkinkan dilakukan. Sudah semestinya semua pihak menaruh perhatian besar pada perkebunan rakyat ini.
Salah satu bentuk perhatian yang dalam prakteknya “tak seindah warna konsepnya” adalah kemitraan atau contract farming. Kemitraan pada perkebunan kelapa sawit selama ini dipercaya mampu menjembatani kepentingan perusahaan inti dalam memenuhi pasokan bahan baku dan kepentingan petani/ plasma dalam meningkatkan kesejahteraan.Namun, sudahkah keduanya bermitra dalam arti sesungguhnya dan berbagi keuntungan secara proporsional?
Dampak contract farming sendiri di negara-negara berkembang telah lama menjadi perdebatan sengit. Glover (1984) dalam Contract Farming and Smallholders Out Grower Schemes in Less Developed Countries mengulas dengan baik kontroversi ini . Terdapat dua madzhab pemikiran yang masing-masing mewakili kalangan pro dan kontra, yakni Harvard Business School (HBS) dan Food First (FF)Mazhab yang pertama menekankan bahwa pertanian adalah sebuah sistem internasional dan meyakini bahwa petanidapat memperleh keuntungan bila terlibat di dalamnya. HBS menilai agribisnis dengan pola kemitraannya dapat mempercepat pembangunan wilayah perdesaan di negara berkembang.Sementara itu, madzhab yang ke dua mengambil kesimpulan yang bersebrangan. FF mengemukakan bahwa internasionalisasi pertanian dapat membahayakan petani kecil dengan mendorong mereka keluar dari produksi tanaman pangan tradisional dan mengeksploitasi mereka dalam bentuk kontrol berlebihan atas lahan, tenaga kerja, dan sumber daya lainnya.
Dalam konteks kelapa sawit nasional, pandangan HBS banyak diadopsi oleh pemerintah dan perusahaan. Berbagai skema atau pola kemitraan telah dikenalkan dan dikembangkan, dari program pemerintah seperti NES, PIR-TRANS, KKPA, hingga berbagai pola bagi hasil yang dikembangkan oleh swasta.Sedangkan pandangan FF banyak diadopsi oleh kalangan LSM, aktivis lingkungan, dan penggiat HAM. Mereka menilai kemitraan sebagai bentuk neokolonialisasi dan eksploitasi kesenjangan posisi tawar antara perusahaan inti dan petani kecil.Hal ini juga dipandang sebagai strategi efisiensi perusahaan dalam mentransfer risiko dan beban tenaga kerja kepada petani.
Alih-alih memilih salah satu dari dua mazhab tadi, penulis memilih berhati-hati untuk tidak terjebak pada overgeneralisasi.Ada demikian banyak keragaman dalam jenis perusahaan, petani, dan kondisi sosial ekonomi setempat yang perlu dilihat kasus per kasus.Hal ini yang perlu digarisbawahi sehingga kita tidak terjebak untuk melakukan pembelaaan “buta“ terhadap apa yang diklaim sebagai “kepentingan nasional“ ketika memang menemukan berbagai ketimpangan atau kekurangan yang perlu diperbaiki. Sebaliknya, kita pun tak mudah hanyut oleh opini internasional yang mengklaim diri independen dan mengedepankan HAM.Kita memang perlu dan harus menjaga dan melindungi kepentingan nasional kita tentang kelapa sawit berhadapan dengan dunia internasional.Namun demikian, itu tidak berarti kita membiarkan berbagai kekurangan yang ditemui dan mencari legitimasinya.
Dari survey yang dilakukan penulis di Provinsi Jambi pada awal tahun 2010 dengan melibatkan 291 orang petani sawit (172 petani plasma dan 119 petani mandiri) diperoleh temuan menarik, bahwa meskipun pendapatan bersih rata-rata tahunan petani plasma tiga kali lebih besar dari petani mandiri, namun tidak ada perbedaan nyata pada produktivitas keduanya. Petani plasma memperoleh pendapatan yang besar justru disebabkan oleh penguasaan lahan sawit yang lebih besar. Disamping memiliki kebun plasma (kebun yang dibangun oleh perusahaan inti), petani plasma juga memiliki kebun mandiri (lahan sawit lain yang dibangunnya secara mandiri).
Yang menarik adalah kebun plasma tersebut memiliki rata-rata produktivitas 15,8 ton/ ha/ tahun, jauh lebih tinggi dari kebun mandiri yang hanya 10, 7 ton/ ha/ tahun. Padahal keduanya dimiliki oleh petani plasma yang sama. Artinya, selama ini kemitraan memang berpengaruh terhadap produktivitas, namun pengaruhnya sangat terbatas pada peningkatan produktivitas di lahan plasma saja. Transfer pengetahuan dan dukungan input perkebunan yang diberikan belum cukup memadai untuk memberi manfaat yang lebih luas bagi peningkatan produktivitas petani pada lahan-lahan lainnya.Di sisi lain, ada pula temuan menarik dimana rata-rata biaya input terutama pupuk pada petani plasma 3,5 kali lipat dari petani mandiri. Kedua hal ini menunjukkan indikasi terkurasnya sumberdaya petani plasma untuk memelihara kebun plasma dan cenderung abai terhadap kebun yang justru dibangunnya secara mandiri.
Rata-rata pendapatan per kapita petani plasma sebesar Rp 14, 8 juta disumbang lebih 90% dari sawit. Sementara itu petani mandiri memiliki portofolio yang lebih beragam meski pendapatan per kapitanya jauh lebih rendah.Pada situasi normal, dimana harga TBS sedang atau tinggi, maka petani plasma akan mampu mempertahankan keuntungannya secara normal atau bahkan berlipat.Namun saat black swan[1] datang, petani plasma adalah pihak yang paling terpukul.
Saat ini hingga beberapa tahun mendatang kita masih akan sangat disibukkan dengan persoalan peremajaan pada kebun-kebun tua.Selama peremajaan dilakukan, praktis dalam jangka waktu lima tahun risiko kehilangan pendapatan dalam jumlah besar akan ditanggung petani bila tidak diantisipasi jauh-jauh hari.Ini dapat melahirkan dampak sosial yang jauh lebih besar dibanding ketika masa tanam dalam siklus pertama dahulu, setidaknya karena dua alasan. Pertama, tingginya pendapatan per kapita yang selama ini diterima petani plasma telah mengubah pola konsumsi rumah tangganya, termasuk dalam kredit/ utang. Kedua, sebagian besar kebun-kebun tua itu boleh jadi telah diwariskan ke generasi berikutnya, generasi yang tidak pernah merasakan sulitnya hidup di masa awal-awal pembangunan sawit dahulu.Dalam konteks ini, lagi-lagi kemitraan menjadi salah satu kunci penting dalam mengantisipasi risiko yang mungkin dihadapi
Fakta-fakta di atas hendaknya menggugah kesadaran kita, terutama para pihak terkait untuk membenahi kembali pola kemitraan yang ada. Secara filosofis, perlu ada perubahan paradigma tentang kemitraan yang benar-benar menempatkan petani sebagai mitra bisnis dalam jangka panjang, bukan lagi sebagai “beban dari program pemerintah” yang harus diurus. Transparansi, kejujuran, dan komunikasi menjadi nilai-nilai yang perlu dijunjung tinggi dan bukan lips service semata. Secara teknis, diversifikasi kemitraan melalui kombinasi sawit dengan berbagai usaha, seperti ternak, budidaya ikan, jamur, dll menjadi sangat direkomendasikan. Ini menjadi sangat relevan dalam mempersiapkan mental, kemampuan dan portofolio pendapatan untuk menghadapi datangnya black swan maupun masa peremajaan.
[1] istilah ini dipopulerkan Nicholas Taleb untuk menyebut peristiwa yang jarang terjadi namun memiliki dampak luar biasa besar.Dalam konteks ini, black swan dapat berupa penutupan akses pasar CPO oleh Uni Eropa, merosotnya harga sawit, atau terjadinya kebakaran kebun
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H