Tahun lalu sebelum pulang ke tanah air, saya sempatkan berkunjung ke seorang kawan
yang tinggal di Gottingen, sebuah kota kecil di Niedersachsen yang
membutuhkan sekitar 2 jam perjalanan kereta metro dari Hannover. Mas
Bay begitu saya memanggilnya. Dia seorang dosen yang sedang menempuh
tugas belajar dari universitasnya untuk menekuni bidang manajemen
produksi peternakan. Bidang keahliannya: ruminansia kecil.
Dipelajarilah berbagai jenis ternak mulai dari kambing, domba, sampai
babi mini yang katanya lagi tren di eropa karena termasuk fast growing
species (mungkin setara dengan acacia mangium atau gmelina arborea di
kehutanan he..he..).
Pagi itu, pukul 10.00 CET kami bertemu di bahnhof. Setelah berbincang
kesana kemari saling menanyakan kabar, saya tak ingat entah dari mana
awalnya, dia menanyakan sesuatu pada saya, ”Mas, tahu nggak bedanya
orang miskin di sini dan di Indonesia? ” saya spontan menjawab, ”nggak
tahu, apa memang bedanya?” Kawan saya ini- yang sudah tinggal hampir
dua tahun di Jerman- pernah dapat penjelasan dari kawannya yang orang
jerman asli bahwa orang miskin di sini biasanya gemuk-gemuk sementara
yang kaya justru kurus atau langsing. Lho kok bisa? Menurutnya, harga
daging dan susu di sini murah-murah, sementara itu orang miskin biasanya
kurang terdidik jadi tidak tahu cara mengontrol diri untuk melakukan
diet teratur sebagaimana orang kaya.. Nah, kalau di negeri kita, orang
miskin itu benar2 kurang segalanya, kurang perhatian, pendidikan,
informasi, aset dan akses pada sumber daya. Jadi, pada umumnya orang
kurus bukan karena diet namun memang benar-benar tidak memiliki daya
beli terhadap harga kebutuhan pokok yang semakin tinggi mengikuti
inflasi. Mereka termiskinkan secara struktural sehingga sulit keluar
dari lingkaran setan itu. Orang jadi miskin karena penghasilannya
rendah sehingga kurang mampu mengakses kebutuhan hidup. Penghasilan
rendah karena tak dapat pekerjaan yang layak atau kurang memiliki
keterampilan menjemput rezki. Biasanya itu bermula karena tak dapat
sekolah tinggi. Mengapa tak bisa sekolah? Karena ortunya dulu orang
miskin atau berpenghasilan rendah. Balik lagi masalahnya. Meskipun ada
juga beberapa kasus bahwa orang2 sukses di negeri kita justru lahir dari
keluarga sederhana atau miskin, namun secara umum orang sulit untuk
keluar dari jerat kemiskinan struktural ini.
Saya kemudian balik tanya, ”kalo begitu, kok sampean hampir dua tahun
disini malah kurus?” apa berarti kaya...he....he.... ”Ya..itu
Problemnya! Daging yang murah2 disini justru daging yang
diharamkan...semakin haram kelihatannya semakin murah,” jawab Mas Bay.
Dia kemudian menceritakan perbandingan harga antara daging ayam,
kambing, sapi, babi, dan daging dari hewan yang disembelih secara
islami. Rupanya daging babi menempati peringkat nomor satu dalam daya
saing harga. Sementara itu daging sembelihan yang dijamin kehalalannya
memiliki harga lebih mahal dibanding daging dari hewan sejenis. Saya
sendiri jarang makan daging selama di sini, paling banter makan ayam
goreng...itu pun kalo lagi bertamu di rumah orang
indonesia....he...he...Udang goreng, telor, dan ikan asin biasanya yang
jadi menu favorit saya sehari-hari. Mas Bay juga menambahkan bahwa
harga minuman beralkohol seperti beer atau wine bisa ditemukan dengan
mudah dan sangat murah. Intinya, kalo mau menabrak aturan2 agama,
situasi di sini memberi kesempatan dan memfasilitasi itu seluas
luasnya.
Kembali ke soal kemiskinan tadi. Di Hannover saya kerap melihat beberapa
pemuda berpakaian ”keren n modis” yang biasanya mangkal di prapatan
Kropke atau Steintor, membawa anjingnya dan menjadi peminta-minta pada
orang yang lewat. Saya tidak tahu apakah pemuda itu miskin. Tapi, itu
lah yang terlihat, disini peminta tadi membawa anjingnya mungkin untuk
menyampaikan pesan ”berilah kami uang untuk memberi makan anjing-anjing
ini” Hal yang sangat berbeda dijumpai di negeri kita dimana pengemis
biasanya membawa anak kecil atau bahkan balita untuk menyampaikan pesan
sejenis. Saya tidak tahu nilai budaya apa yang melatarbelakangi itu di
Hannover. Apakah orang disini lebih tersentuh hatinya bila melihat
anjing yang lapar? Ataukah karena para peminta tadi memang tidak punya
anak dan tidak ada jasa ”menyewakan” anak?” Ataukah itu bukan soal
miskin namun jenis penyakit sosial di negara maju? Tiga bulan di sini
tentu bukan waktu yang cukup untuk mampu menjawab pertanyaan2 itu
Yang jelas, terlihat betul ketimpangan sosial di antara developing dan
developed country. Bila direnungkan, sering kali problem ekonomi justru
bukan tentang kelangkaan sumber daya, namun tentang distribusi dan
kesempatan untuk mengaksesnya. Di sebuah negara maju, makanan banyak
berlimpah ruah berharga murah dapat diperoleh dengan mudah, namun pada
saat yang sama di negara lainnya kemiskinan, peperangan, atau bencana
alam telah memaksa warganya untuk lapar! Ketika orang2 di sebagian
negara berfikir tentang anjing dan hobi untuk menikmati hidup, orang2 di
belahan dunia lainnya berfikir tentang anak dan kerja untuk
mempertahankan hidup. Beberapa diantaranya bahkan mempekerjakan
anak-anak demi mengepulkan dapur keluarga. Bisakah kita bayangkan
ketika ratusan euro telah dikeluarkan oleh sebagian orang tadi untuk
memandikan, menghias, dan memberi makan seekor anjing, di belahan dunia
lain uang senilai 0.5 euro diperoleh sedemikian sulit untuk menyambung
hidup seorang anak manusia.
Memang, dalam ruang lingkup lokal kelangkaan itu terjadi. Namun, bila
kita melihat secara lebih luas, sebetulnya kelangkaan itu lebih
merupakan imajinasi teoritis dibanding realita empiris. Suatu barang
dapat langka di suatu tempat, namun pada saat bersamaan berlimpah ruah
di tempat lain. Di kala dunia sudah tak lagi terbatasi dengan sekat
geografis, bukankah kita perlu point of view yang lebih global dalam
persoalan ini? Teori kelangkaan membuat orang sibuk memproduksi namun
abai terhadap distribusi. Revolusi industri pun terjadi. Imperialisme
untuk memperoleh input maupun memasarkan output telah dilakukan dengan
berbagai cara menurut ukuran zamannya. Sejak itu, harus diakui
kapitalisme global telah menyeret kita dalam arus ekonomi yang membuat
kesenjangan di dunia menjadi semakin lebar. Maka tak heran bila layar
TV kita dipenuhi dengan perang, kriminalitas, dan terorisme.
Sebuah tatanan hidup baru dibutuhkan. Tatanan yang mejamin setiap orang
memperoleh kesempatan untuk berikhtiar memperbaiki kehidupannya. Sebuah
tatanan yang bersumber dari Zat Yang Maha Kuasa, Allah SWT pencipta
manusia dan alam raya.
Kita butuh perubahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H