Perhelatan PEMILU serentak untuk pertama kali dilaksanakan di Indonesia pada 2024 mendatang. Pemilihan umum untuk kategori anggota legislatif di sejumlah tingkatan mulai dari Kabupaten/Kota, Provinsi, Senayan, Dewan Perwakilan Daerah, Bupati /Walikota, Gubernur dan  hingga pemilihan Presiden dilaksanakan di tahun yang sama. Pemilihan umum (PEMILU) bukan merupakan suatu hal yang baru orang kenal, melainkan keberlangsungan atau penyelenggaraannya memiliki sejarah dan proses yang berbekas dalam ingatan. Pemilu sering kali kita kenal sebagai sebuah pesta rakyat dan ajang bagi para aktor politik/politisi bersama partai politik untuk saling beradu kapasitas dan kapabilitasnya, dengan harapan dapat mencapai tujuannya baik sebagai Presiden/ Wakil Presiden atau sebagai anggota legislatif.
Pelaksanaan PEMILU merupakan indikator terpenting dalam suatu negara demokratis dimana prinsip kebebasan, keadilan dan kesetaraan setiap warga negara terjamin. Pemilu merupakan proses, mekanisme atau prosedur yang digunakan untuk memindahkan kedaulatan rakyat kepada "individu-individu terpilih" untuk kemudian mendapatkan amanat atau jabatan-jabatan politik.
Dalam konteks Indonesia, Pemilihan Umum ini diatur dalam Pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945). Sebagai negara yang demokratis, Indonesia telah mengenal dan melaksanakan proses pemilu sejak tahun 1955 hingga yang terakhir pada tahun 2014 yang lalu. Ini membuktikan bahwa Indonesia telah berhasil menunjukkan komitmennya yang tinggi terhadap prinsip-prinsip demokrasi.
Dinamika pemilu di satu negara pada umumnya berbeda dengan negara lainnya. Tiap-tiap negara memiliki model, sistem dan proses yang berbeda-beda. Di Indonesia sendiri, sistem pelaksanaan pemilu mengalami dua kali perubahan. Ketika Orde Baru berkuasa, pemilu dilaksanakan secara tidak langsung dimana Presiden dan Wakil Presiden dipilih oleh wakil-wakil rakyat di Parlemen. Namun ketika Orde Baru tumbang masuk Reformasi, mekanisme ini berubah dan pelaksanaan pemilu pada tahun-tahun berikutnya, yaitu pada tahun 2004, 2009 , 2014, dan 2019 dilaksanakan secara langsung.
Karena dilaksanakan secara langsung, maka tentu saja keadaan menjadi sangat kompleks. Dari sisi kuantitas elektorat atau pemilih saja, Indonesia merupakan negara demokrasi terbesar kedua atau ketiga setelah Amerika Serikat dan India. Dengan begitu, pemilu menjadi ajang perhelatan pesta demokrasi terbesar yang diikuti oleh sekitar 200 jutaan pemilih dan diramaikan oleh kontestasi beragam partai politik. Ketika itu, kita akan disuguhi dengan berbagai macam hidangan politik, baik berupa ideologi, sikap, strategi dan lain-lain, dimana setiap pihak berusaha untuk memenangkan kandidatnya melalui mekanisme yang legal dan sah sebagaimana telah diatur oleh Undang-Undang.
Dalam 6 pemilihan terakhir, Tingkat partisipasi masyarakat menurut data Komisi Pemilihan Umum (KPU) Republik Indonesia mengalami peningkatan. Pada periode Tahun 2019 yang berada di dalam maupun luar negeri mencapai 199.987.870. Sementara, pemilih yang menggunakan hak pilihnya sebanyak 158.012.506 atau tingkat partisipasi masyarakat untuk memberikan hak pilihnya mencapai 81% secara nasional melebihi target 77,5%, maupun 75% dalam pileg 2014, 70 % pilpres 2014. Begitu pula dalam pemilihan kepala daerah, di mana partisipasi pemilih pada pemilihan kepala daerah tahun 2020 sebesar 76,9%, meningkat dari pemilihan kepala daerah tahun 2015 (70%), 2017 (74%),dan 2018 (73,2%). (sumber:kpu.go.id dan databooks.katadata.go.id)
Berdasarkan data ini, tingkat partisipasi masyarakat relative meningkat dari PEMILU sebelumnya yaitu diperiode 2014, namun tidak bisa dipungkiri terdapat 19% pemili belum berpartisipasi dalam pemilu dengan berbagai alasan dan kontroversi yang seakan tidak ada habisnya. Â Kesadaran masyarakat terhadap politik, khususnya dalam ruang PEMILU menjadi sangat urgen, karena akan berbanding lurus dengan tingkat kepercayaan kepada pemerintah yang disematkan pada penyelenggara PEMILU. Maka, segala kekurangan dalam tahapannya harus diperbaiki. Misalnya, mengenai harmonisasi data pemilih dimana banyak warga masyarakat tidak mendapatkan hak pilihnya, atau sebaliknya "pemilih siluman" yang santer dibahas dalam beberapa kesempatan. Dengan kecakapan penyelenggara dan sentralisasi data yang terintegrasi pada satu aplikasi PEMILU yang berbasis IT harusnya hal ini bukan hal yang sulit lagi.
Selanjutnya, hal yang penting untuk diantisipasi sedini mungkin adalah "pembelahan" dimasyarakat, yang saat ini belum pulih sebagaimana mestinya. Kesadaran masyarakat untuk kesuksesan PEMILU seharusnya adalah sebuah kesyukuran, karena hakekatnya PEMILU adalah pesta demokrasi, pesta kebahagiaan bahwa rakyat diberi hak politiknya untuk memilih wakilnya, serta memilih siapa yang berhak diberikan mandate memimpin pemerintahan berikutnya. Karena itu, janganlah masyarakat kita dipertontonkan dengan permainan politik yang negatif, kotor atau tidak benar menurut Undang-Undang Dasar Negara bahkan agama. Kasus-kasus lama terkait penyebaran isu-isu hoax, character assassination, money politics, politisi kutu loncat, koalisi pragmatis dan sebagainya, yang cukup mudah ditemukan dan bahkan, pada tahap tertentu, telah menjadi suatu kelaziman. Nah inilah point yang perlu menjadi perhatian kita bersama. Ini adalah masalah yang perlu segera dicarikan solusinya. Sudah cukup kita terbelah hanya karena adab dan sopan santun media social semisal Cebong, kampret, kadrun dan lain sebagainya yang aslinya istilah tersebut bukan berasal dari masyarakat, melainkan politisi, kaum elitis.
Selain itu, pelanggaran-pelanggaran terhadap norma politik seperti penulis sebutkan dalam beberapa kasus diatas, akan berdampak pada lahirnya kolompok yang apatis dan pesimisme politik, yaitu orang-orang yang bersikap untuk tidak memilih calon yang ditawarkan dalam pemilihan atau PEMILU karena alasan tertentu. Terdapat penyebab apatisme politik yang sebenarnya tidak terlalu jauh berbeda dari politik itu sendiri, seperti kecewa terhadap politik yang dialami di masa sebelumnya, kecewa terhadap politisi yang kerap kali mencenderai kepercayaan dari masyarakat, kecewa dan bosan dengan visi misi yang dijanjikan saat kampanye yang tidak kunjung terealisasikan, ataupun menganggap pemilihan bukan hal yang penting karena tidak terlalu berpengaruh atau berdampak langsung pada tiap individu.
Secara umum, penulis melihat bahwa pemilu tahun 2024 nanti akan menjadi fase lanjutan bagi perkembangan demokrasi di Indonesia. Ini berarti bahwa di tahun 2024 yang akan datang, bangsa Indonesia akan menyaksikan suatu proses politik dimana unsur-unsur demokrasi akan terealisasi secara lebih luas dan merata serta struktur-struktur penopangnya akan terbentuk menjadi lebih mapan dan berkelanjutan. PEMILU serentak akan menjadi pertaruhan kepercayaan, kita tidak ingin DNA emosi dan ambisi terbentuk dimasyarakat yang akan diwarisi dari generasi ke generasi. Beberapa impak dari pelaksanaan PEMILU dan PILPRES tahun 2019 secara bersamaan adalah pelajaran berharga bagi kita sebagai bangsa Indonesia dalam meningkatkarkan kualitas demokrasi bangsa ini, dengan mengedepankan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan individu dan kelompok.
KPU dan BAWASLU