Perkataanmu. Mengembalikan diriku. Â Itu bukti, kau sudah tak butuh aku. Karena menurutmu. Selingkuhanmu, lebih baik. Penyabar. Tidak pernah marah. Dan lelaki terbaik untuk jadi ayah baru, untuk anak anakku.
Perkataanmu. Masih diingat. Itu sangat menyakitkan. Tiada obat yang bisa rubah, tiada tobat yang bisa mengolah. Alasanmu dulu kena sihir, itu tak masuk akal. Perkataanmu itu sebuah penghinaan, tiada maaf.
Perkataanmu itu keputusan final. Toh, dulu kau bangga melakukannya. Bahagia berbuat. Â Tentu dengan tertawa tawa. Enak bukan? Puas bukan? Itu dicatat langit bumi. Tak bisa diingkari, karena malaikat tak pernah pikun merekam ulahmu.
Setia yang diabaikan. Setiaku yang tamat. Sekarang sudah kadaluarsa. Apapun alasanmu, sekarang sudah tidak bisa merubah takdir. Yang kau jual itu, kehormatanmu sendiri. Haruskah menerima noda yang tidak terhormat lagi? Sungguh sia sia.Â
Perkataanmu, keputusanmu. Tobatmu sekarang itu tiada guna. Toh, tak akan ada yang percaya. Karena bejat itu akan diulangi lagi. Dendammu sudah jadi kambuhan akut. Apa kau bahagia hidup denganku, karena demi dia, kau sudah gadaikan aib sendiri.Â
Katanya, kau bahagia bersamanya? Itu caramu menghina perjuanganku. Untuk apa mempertahankan, karena berkali kali setia yang diabaikan. Dan batas maaf itu sudah berakhir. Drama apa lagi yang akan kau dustakan?
Malang, 12 April 2022
Ditulis oleh Eko Irawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H