Puisi : Lapak Sepi Kedai Puisi
Seri Hari Hari Puisiku 33
Ditulis oleh : Eko Irawan
---------------------------------
Kedai Puisi, lapak entrepreneur sastra. Bukan pujangga, Punya orang biasa. Hanya penulis eceran tiada harga. Lapak sepi. Senyap. Mampir enggan. Apalagi baca. Miskin penilaian, dangkal apresiasi.
Jaman minyak langka. Penjual gorengan merana. Merangkak naik semua harga. Penghasilan itu itu saja. Mana mungkin tertarik cerita sastra. Jaman pertarungan, mungkin takut buang percuma pulsa kuota.
Puisi curahan hati. Bukan hati bermakna empati. Tapi hati diparodikan harta dan properti. Yang infotainment ghibah laris. Yang hoax malah digemari. Yang nipu nipu diikuti. Yang kaya palsu dipuji. Yang nyinyir tak bermutu, malah dijadikan panutan. Yang karya inovasi malah dibully.
Saat diri ditanya siapa. Kapasitasmu apa. Panggungmu dimana. Pekerjaanmu apa. Kok nulis. Lalu ditertawakan. Dicibir. Seolah diri makhluk aneh dari negeri terasing. Apa aku salah? Jika kau lebih level, mana karyamu?
Tapi puisi ini caraku bicara. Cerita pada dunia. Dibuat untuk yang punya rasa. Sefrekuensi saja. Ini hidupku sendiri, sumbangsihku pada yang butuh. Tetap semangat berkarya, menulis dan terus menulis.
Biarlah lapak sepi kedai puisi. Terima kasih bagi yang sudah perduli. Mari saling dukung dan terus sehati. Karya ini untuk bersama dinikmati. Diapresiasi. Tanda luhur jiwa empati.
Malang, 30 Maret 2022.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H