Rasa urup Puisiku #1
Ditulis oleh : Eko Irawan
Jadilah hanya cempluk. Lampu minyak. Nyalanya mobat mabit. Hidup remang, tak terang, tak ada girang. Sambat meriang, serba kurang.
Serba tak jelas. Tak pasti. Sungguh goblok cari cuan. Meratapi sedihnya hidup. Tersakiti. Terusir. Tak dianggap. Hanya bisa menunggu. Menunggu. Dan menunggu  Hingga Bertanya bahagia itu apa.
Rasa urup puisiku. Dijual tak laku. Tak ada yang beli. Siapa? Baca saja, ogah. Suruh Lihat, jijik. Apalagi diminta apresiasi.Â
Kini, Tak jaman ngelapak sastra. Tak bisa buat beli beras. Tak bisa beli harta. Apalagi dipuji wanita. Tahta raja pujangga yang dipertanyakan, kapan. Seolah elok berjanji, tapi melompong. Hamparan mimpi hampa yang kosong.Â
Sungguh angkat tangan ditanya bukti. Romantisme hidup palsu. Tak ada yang mau. Padahal jadilah inspirasi. Berjuang bersama, memetik berdua. Saling dukung, saling menguatkan. Bukan ditonton. Dikritik. Dipertanyakan. Hanya dilihat, tapi dibutuhkan.
Rasa Urup puisiku. Kadang nyala terang. Kadang padam. Tak hasilkan apa apa. Mimpi siang bolong pujangga kalap. Crazy rich kata yang terasing. Tak dibutuhkan siapapun.
Tak ada yang rindu. Tak ada yang butuh. Hanya beban orang lain. Tontonan tak lucu yang tak menghibur. Sampah terbuang yang tiada makna.
Lalu, bahagia itu apa?