Hujan November membasah. Meninggalkan titik titik air didaun. Bening berkilau. Kemilau bersama hembus dingin. Membekukan rasa antara ada. Dan tidak ada. Tapi Dinda dimana.Â
Cerita cinta yang tak bisa dijelaskan. Bersamamu itu indah. Mewarna hari demi hari. Tentang hadirmu. Bersamamu. Dalam Panji Panji asmaraloka. Sang apshara di tlatah Tumapel.
Apakah engkau titisan Ken Dedes. Sang stri nareswari. Perempuan utama. Engkau memiliki apa yang kucari. Perhatianmu untukku. Begitu memikat. Membawaku pada surga terindah. Bersamamu.
Haruskah aku menemui sang Gandring. Untuk keris tersakti. Tapi haruskah kukorbankan kebo ijo. Untuk misi asmara sang amurwabumi.Â
Dinda itu sudah sangat baik. Menempatkan ku dalam keraton Tumapel. Untuk lahirnya wangsa Rajasa. Tanpamu aku siapa. Hanya seseorang pengembara. Yang berteman sepi tiada akhir.
Masih teringat. Kaputren kabalan. Kau pegang tanganku. Dalam getar asmara. Cinta ini takut. Cinta ini dibalik tembok larangan. Sang Tunggul ametung mengutus para kesatria. Untuk melindungimu.Â
Cinta sembunyi. Tergesa gesa dalam waktu. Semua serba terbatas. Tak ada syahdu. Aku ini kekasihmu. Atau bukan. Karena kapan bisa memilikimu. Untuk hidup layak. Jadi raja dan ratu.Â
Aku bagai kerbau bodoh. Aku bisa membawamu pergi. Untuk lembar baru hidup kita. Tapi jelas semua tombak akan menghunusku. Prajurit Tumapel akan menghabisi ku. Haruskah terulang drama berdarah, untuk cinta suci.
Tersadar ini larangan. Taman Singha peninggalan Kanjuruhan, pernah jadi saksi. Saat berusaha lari dari kenyataan. Untuk mengurai kisah kisah. Menuju takdir yang berbeda. Menembus jaman.Â
Aku memang bertahan. Menunggu dalam cerita hidup. Mencintai tanpa memiliki. Karena aku tak senekad Ken Arok. Aku masih waras. Tapi kaulah tetap stri nareswari terbaik. Yang datang diujung usia. Bukan saat muda, dahulu.Â