Ini bukan mesin waktu. Ini sekarang. Hidup dibalik penjara masker. Resah dihimpit protokol baru. Tentang cuci tangan dan pembatasan melawan pandemi. Aku butuh vaksin. Vaksin agar hidupku bermakna. Tidak dicampakkan lagi.
Meratapi itu akan menambah beban. Mengeluh akan ditertawakan para Londo klaper. Aku masih bisa melihat mereka ada. Mentertawakan aku setelah merampok hidupku. Memperalat orang yang kucintai, untuk nafsu bejatmu. Kau boleh menang. Tapi tank tank keadilan akan menindasmu dineraka.
Kepul asap kretek. Menembus petang. Menyambut malam yang setia datang. Kotaku berdinamika. Aku dalam enigma. Hidup harus dilanjutkan. Buktikan dirimu siapa. Bukan mewujudkan apa kata mereka. Tapi busungkan dadamu. Ini aku. Nawak Ngalam. Sang kesatria tangguh.Â
Saat kau tak dianggap. Jadilah kesatria anabrang. Bukan kebo bodoh yang diperalat. Wujudkan cakrawalamu. Cikal bakal palapa. Itu dari bumi Nawak Ngalam. Aku harus malu hanya mengeluh.
Hidup adalah enigma. Besok tak ada yang tahu keajaiban apa. Berpikirlah besar. Walau kau sekarang pujangga picisan. Yang tak punya kitab. Kau dilecehkan, tapi nyala jiwamu akan menjawab. Kau tak bisa diremehkan. Kaulah kesatria pejuang, pasti ada menang setelah ujian.
Raihlah enigma. Suksesmu saat orang lain tak paham enigmamu. Biarkan orang mentertawakan dirimu. Merekalah orang orang tak waras. Yang hanya hidup dari mulut ke WC. Sementara dirimu seperti Leonardo. Â Mengirim da Vinci code pada peradaban.Â
Idjen Boulevard, 26 Oktober 2021
Oleh Eko Irawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H