Deras. Menerpa bumi. Membasuh muka yang kusut. Menjemput rejeki. Membasah disekujur tubuh. Aku tak mengeluh. Karena ini kisah hujan.
Bulir bulir jatuh dari langit. Menghempas aspal. Kisah hujan dibulan Oktober. Tentang kemana setelah ini. Perjuangan yang belum usai. Untuk apa. Untuk siapa. Sampai kapan. Tak tahu.
Rencana kadang kandas dalam badai hujan. Pupus terhanyut bersama lautan air. Menghempas dalam got got keangkuhan. Kotaku mulai banjir. Terbawa arus dalam alasan. Yang tak dimengerti.
Aku tak membencimu duhai hujan. Aku adalah kepasrahan semesta. Kutetap melangkah menunggu. Hingga kapan. Hanya bisa pasrah. Karena aku harus seperti air. Yang menumbuhkan berjuta hidup. Dalam takdir Illahi.
Hujan sembuhkan aku. Bawa aku dalam doa doa. Kesegaran saat haus. Obat saat kering kerontang. Teruslah ada tanpa banyak alasan. Tanpa menunggu. Tanpa drama orang orang munafik.Â
Terkutuklah orang yang mempermainkan tangisku. Kepada siapa lagi aku percaya. Hanya pasrah, kuceritakan padamu. Aku percaya Keajaiban Illahi. Kubutuh sekarang, bukan nanti.
Malang, 19 Oktober 2021
Oleh Eko Irawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H