Dulu aku tak mengenalimu, duhai rokok. Karena aku tak mau disebut anak nakal. Membelimu tak mampu. Karena aku harus menabung. Mewujudkan hasrat lainnya, buku.Â
Sempat aku dikatai banci. Lelaki kumisan, ahli ngopi, tapi Ndak merokok, itu Ndak mbois. Dikucilkan dari gagahnya pergaulan. Karena dianggap anak mama.
Namun aku tak membencimu. Kukenal rokok karena galaunya hidupku. Pahitnya ujian. Lelahnya jiwa ini. Hingga buntu. Jadilah rokok sahabat sepi.
Kucari saat kau tak ada. Walau jauh, kutempuh untuk mendapatkanmu. Walau dompet kempes, akhirnya beli eceran. Tak bisa beli, meminta pada sahabat. Tak kenal pun, jadi kenal. Dari pada pusing. Sakau karena rokok.
Sepiku jadi berteman kepul asap. Kepul kopi menemani. Pindah dari satu warung ke lain warung. Diskusi semakin tajam, karena ahli hisap. Berasap, berkebul. Lahirlah maha karya, dalam setiap batang yang terbakar api. Dalam harumnya lintingan tembakau.
Sahabat lamapun terheran. Melihatku jadi ahli hisap. Itulah siklus hidup. Kusadar, ini mengganggu sehatku. Mengganggu para perokok pasif. Yang tak merokok, tapi menghisap racun dari kepul rokokku. Tapi aku tak kuasa berhenti. Karena rokok seperti nyawaku.
Antara aku dan rokok. Tak terpisahkan. Hanya sakit yang memaksa berhenti. Itupun kambuh lagi. Merokok lagi. Aku tak terpisahkan dengan rokokku. Permen tak bisa menggantimu. Tanpamu bukan sekedar gaya, tapi tanpamu aku jadi hampa.
Malang, 6 Oktober 2021
Oleh Eko Irawan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI