Hidup itu berlayar. Mengarungi lautan luas. Bukan tentang sekarang apa. Tapi kemana setelah sekarang. Karena umur berbatas, ada saatnya terhenti. Dan asa itu bersama sang penerus.
Child free. Bebas sesuka hati. Tak repot urusan si kecil. Tak ribet urusan bayi. Ego diri, mau nikmat sendiri. Seolah hidup abadi, lupa kodrat. Lupa takdir.
Itu pilihan. Itu keputusan. Saat menua tiada daya. Tetap akan sendiri. Karena obor sang penerus sudah dihabisi. Oleh egomu sendiri. Bukan sekarang, tapi kelak dalam kerudung misteri. Bersama siapa saat sekaratmu menjemput.
Hanya doa sang penerus. Yang jadi lentera dialam sana. Hadiah untuk keabadian. Dunia ini sementara. Kau berlayar tanpa berlabuh. Bahagiamu palsu, karena hartamu tak dibawa mati. Mati dalam kesepianmu sendiri.Â
Sang penerus itu asa. Betapa banyak yang merindukannya. Karena tak mampu diberi amanat. Sementara yang sehat, kenapa menolak. Sekalipun itu pilihan. Itu keputusan. Tapi apakah bahagiamu abadi. Egomu menghabisimu tanpa ampun.
Tertawalah sekarang. Itu hakmu. Tapi trend modern tak mampu kirim doa saat kau mati. Berlayar tanpa berlabuh. Diombang ambing tanpa penerus. Lalu sirna tanpa siapapun peduli. Sia sialah hidupmu. Menyesal tapi telah terlambat untuk selamanya.
Malang, 31 Agustus 2021
Oleh Eko Irawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H