Pagi dan malam. Dijalan yang sama. Merangkai kisah. Berpuluh tahun. Drama kehidupan yang lelah. Perjuangan yang tak dihargai.
Pernah dingin. Dipeluk kabut. Pernah panas dipeluk peluh. Langkah tak terhitung. Lelah yang tak diperdulikan. Masa yang tak diakui. Tertukar dendam membara.
Mengeluhku ditertawakan semesta. Aku sudah dibodohi dalil dalil munafik. Dipaksa mengaku salah dan tertuduh. Agar jatuh kelembah hinaan. Dan menarilah para iblis. Mentertawakan ku.
Sia sialah umur. Ketika yang baik sudah dianggap tak ada. Disirnakan. Oleh kepuasan dendam para laknat. Didalangi para bajingan. Yang lempar batu sembunyi tangan. Yang membela para perampok hati.
Pertarungan busuk untuk kemenangan imitasi. Untuk apa? Puas bukan telah menipuku, tawa mesramu diranjang terkutuk. Polah binatangmu sungguh dipuji langit bumi. Sungguh mulia pembalasanmu.
Saksi bisu. Jalan ini. Tak pernah bisa cerita. Padamu. Tentang betapa lelah perjuangan ini. Untukmu. Sementara dirimu menghinakanku. Puas bukan pilihanmu, karena kau akan memetik polahmu sendiri. Hingga akhirat.Â
Malang, 27 Juni 2021
Oleh Eko Irawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H