Merenung kembali. Untuk apa. Untuk siapa. Sesungguhnya ini mubazir. Tiada guna. Karena yang kutunggu, sudah banyak alasan.Â
Detik demi detik terbuang. Harga mahal menukar nyawa. Hanya menunggu tanpa kepastian. Bertanya tanpa jawaban. Sendiri, meratap susah. Semakin susah.Â
Rumput rumput liar. Tak diharapkan tumbuh. Harus dibasmi. Karena ini tak dikehendaki. Seperti itulah diriku. Ada dalam setia. Diusir tiada tega. Harus tahu diri tapi tak kuasa pergi.
Dulu sebenarnya sama. Tapi bisa. Sekarangpun sama. Tapi tak bisa. Aku berusaha terima kenyataan. Aku dalam imajinasi. Terjebak fatamorgana. Jika bahagia bersamamu, hanya sekedar mimpi. Setelah terjaga, ini semua tak ada. Sirna.Â
Saat tak cinta lagi. Sejuta alasan mengemuka. Mengiris hati. Bukan sembuh, tapi malah sedih. Dalam galau kesepian. Bersama bayangmu. Hidup ini nyata, tapi cinta ini fiksi belaka.
Jika cinta, tak banyak alasan. Salahku mencinta sendiri. Resiko pahit cinta bertepuk sebelah tangan. Tak bisa protes. Cemburupun terlarang. Siap tersakiti. Dan terus tersakiti. Tanpa batas waktu.
Saat tak cinta lagi. Akan dibiarkan meratapi. Kesunyian hampa, tiada guna. Menelan pahit, tapi bukan obat. Tak bisa sembuh. Hanya membayangkan. Tanpa memiliki.
Malang, 17 April 2021
Oleh Eko Irawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H