Mohon tunggu...
Eko Irawan
Eko Irawan Mohon Tunggu... Penulis - Menulis itu Hidup
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pantang mundur seperti Ikan

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Rumahku di Jalanan

28 Maret 2021   19:29 Diperbarui: 28 Maret 2021   19:32 229
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Dokpri Rumahku dijalanan

Apa salahku. Bukan aku yang mendalangi ini semua. Apa mungkin aku tersangka, yang ingin hidupku sendiri hancur. Hidup dalam susah. Aku turut jalani ini. Tapi kenapa aku yang tertuduh? Jadi sasaran dendammu?

Saat orang lain bilang, aku kena karma. Matamu berbinar gembira. Tambah satu lagi pendukungmu. Untuk membully aku. Untuk salah yang kau timpakan padaku. Padahal ini hanya dendammu. Caramu membenarkan diri, jika kau maha benar dengan caramu.

Sekarang rumahku dijalanan. Kau tuntut aku dengan alasan dahulu, yang ini itu. Yang baik sudah tak diakui semua. Karena kau punya penggantiku. Yang lebih baik dariku. Tapi caramu, kau usir aku dengan tumpukan dusta. Kau Galang semua manusia, untuk menciptakan karma setingan, untukku.

Ini jahat. Sangat biadab. Aku korban yang kau jadikan tersangka. Dia pilihanmu, kau beri nikmat, tapi aku kau tuntut bukti tanpa sedikit ampunan. Seolah kau Tuhan yang memutuskan.  

Dan aku dianggap raja suudhon. Raja penuduh. Langit bumi tahu yang kau bela itu bajingan keparat. Tapi aku harus dipersalahkan. Agar dia, tertawa ngakak melihat aku sengsara. Dusta apa lagi yang akan kau ceritakan?

Tuhanmu tahu bejat macam apa yang kau lakukan dengan sang Arjunamu. Aku boleh kau tipu. Silahkan. Tapi Tuhan tahu semua, walau semua manusia percaya bahwa akulah yang disangka bejat, bukan dia, karena dia dewa maha bejat.

Kusyukuri hidup terlunta dijalanan. Kau boleh lakukan apa saja. Karena keadilan Tuhan milik orang yang tersakiti. Aku ikhlaskan. Tak usah menyesal, karena sesalmu nanti akan menjawab, siapa yang bejat diantara yang paling bejat.

 Tak perlu mengeluh, karena keputusanmu sekarang, adalah dramamu sendiri untuk membela dia. Siapa dia? Dan siapa aku. Akan dibuka matamu, saatnya nanti. Dan sesalmu sudah terlambat karena melukai kesucian dan kehormatanmu sendiri. Demi dia. Agar dibenarkan, tapi benar apanya? 

Malang, 28 Maret 2021

Oleh Eko Irawan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun