Kepasrahan. Bukan menyerah. Bukan dramaku. Ini hidupku sendiri. Tentang mau kemana, setelah carut marut. Lebur dalam debu. Musnah dalam masa.
Aku bagai binatang hina. Yang layak diusir. Setelah apa yang kuperjuangkan. Dengan jiwa ragaku. Gusti Allah Mboten Sare.
Mantra azab. Setingan manusia. Agar kapok. Untuk memuja kepuasan dendam. Yang benar harus dikalahkan. Diinjak injak untuk alasan bukti. Karena yang baik, sudah dilupakan.
Sabar sudah ditukar dengan tuntutan. Syukur sudah digadaikan. Memikul berat Panji Panji kepalsuan. Milik sang pengganti yang lebih baik. Aku jadi yang lama, yang harus ditendang. Nikmat apa lagi yang kau dustakan.
Kepasrahan. Dibawah langit senja. Aku sudah lelah. Sangat lelah. Demi kepuasanmu, aku rela terusir. Dari hidupku sendiri. Agar kau bahagia bersamanya, dengan modal tetesan darahku.Â
Menarilah bahagia. Dengan iringan musik dari surga. Aku pasrah. Karena keadilan bukan atas skenariomu. Kau senang aku terhukum. Kau puas aku menderita. Galanglah semua manusia, untuk pembenaranmu sendiri. Silahkan.
Kepasrahan. Bukan menyerah. Kupersembahkan kebenaran yang tulus. Ikhlas tanpa dendam. Jujur dari hati yang paling dalam.
Juangku untuk bahagiamu, bersamanya. Lelahku agar kau bebas senang senang dengannya. Bukan kau yang memutuskan, tapi keadilan yang akan menjawab. Sekalipun kau tak sabar, ingin cepat meraihnya. Insya Allah. Gusti Allah Mboten Sare.
Malang, 23 Februari 2021
Oleh Eko Irawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H