Saat pisang pisang ini masih segar, disembunyikan. Hanya untuk tamu terhormat. Aku cukup tahu diri. Tak akan kutanyakan. Itu hak tuan rumah.
Tamu tak diundang. Itulah aku. Cukup pantas berteman suguhan pisang layu. Tanpa kopi. Diajak bicara pun enggan. Karena orang miskin dilarang bertamu.Â
Mereka anggap aku cari hutangan. Maklum saja aku terhimpit tanggungan. Aku kelaparan. Tak punya uang untuk mengajak makan. Ditolong tidak, maunya diusir agar tak jadi beban.Â
Pisang layu di meja. Tak layak makan. Jadi suguhan. Aku bukan gila hormat. Tak penting bagiku. Didengar saja aku sudah cukup. Lalu aku pasti pergi.
Ternyata mudah cari teman, dimeja makan. Â Tapi saat susah, didatangi pun disambut sinis. Sekalipun aku tak mengemis. Hanya sekedar melepas lelahku. Setelah sehari dalam kembara. Untuk menyambung hidup.Â
Kisah yang tak akan kulupa. Saat aku mengemis dari rumah ke rumah. Jasa sudah kuberikan pada mereka. Secara gratis. Jika sudah lupa aku, tak masalah. Aku tak menagih. Hanya mengetuk perasaanmu saja. Jika punya hati.
Malu seperti ini. Tapi apa daya, ini harus kujalani. Tanpa mengeluh. Tanpa sambat. Disyukuri saja. Tanpa drama.
Malang, 9 Februari 2021
Oleh Eko Irawan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI