Mohon tunggu...
Eko Irawan
Eko Irawan Mohon Tunggu... Penulis - Menulis itu Hidup
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pantang mundur seperti Ikan

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Sisa Jejak Tangis Terlupakan

8 Februari 2021   18:36 Diperbarui: 8 Februari 2021   18:56 156
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita pernah susah. Melalui jalanan perih. Pahit. Sepenggal kisah lalu. Haru biru menjemput asa. Yang tak kunjung tiba. Tapi tetap bersama. Dalam harap.

Namun masih ada yang baik. Di antara sampah sampah berbalut dusta. Tentang cinta yang kita punya. Saat itu. Walau tak diakui itu ada. Walau dihapus itu tetap ada. Di antara kenangan.

Sisa jejak tangis. Terlupakan. Jalanan itu. Banyak menyimpan duka. Yang bertumpuk. Yang dianggap sama. Bahwa sejak dulu menderita. Bahwa itu terjadi karena satu salah. Yang dibalas sejuta salah. Agar kapok. Agar puas, lalu ditertawakan. 

Saat cinta sudah dibungkus dendam. Wassalam. Tak akan ada lagi kebaikan. Semua dipukul rata. Harus dibalas. Tanpa ampun. Tanpa maaf. Tanpa peduli siapa yang kau buat menderita. Demi dewa kepuasanmu. Yang terus berbisik. Balas, balas dan balas. Tanpa Kasih lagi.

Sisa jejak tangis terlupakan. Kau sudah lupa. Yang penting sekarang harus ada bukti. Secepatnya. Setelah itu diusir. Untuk dinikmati sang sutradara. Dewa pujaanmu.

Harusnya bisa dibicarakan baik baik. Ini drama pahit. Kau pikir Tuhan tidak tau rencana busuk ini? Aku bisa kau tipu. Mentah mentah. Saat nanti kau muliakan dia? Apa yang akan kau katakan. Dusta dusta lagi jawabnya.

Aku pasrah. Walau juangku kau pertanyakan. Aku tak membalas. Keadilan akan terbuka. Siapa permata. Siapa yang Durjana. Siapa dalang dari ini semua. Yang berbisik agar kau merusak mahligaimu sendiri. Seolah aku dalangnya. 

Kau galang manusia. Untuk mendukungmu. Agar kau peroleh pembenaran. Dan aku yang salah. Itu penghakimanmu. Bahwa sejak dulu aku laknat. Harus dibuat menderita. Karma ala manusia. Untuk apa ini semua.

Sisa jejak tangis. Terlupakan. Itu sudah kau hapus. Karena kau punya pengganti. Yang lebih baik. Lebih sempurna. Bukti yang dituntut, sebelum diusir, agar kau bahagia bersamanya. Tanpa jerih payah. Dan bahagia selamanya.

Drama ini, untuk apa. Untuk rencana pembenaran. Sepihak. Aku diam, bukan bodoh. Keadilan bukan menghakimi orang yang tulus untukmu. Aku tak memuji diri. Boleh terlupakan, tapi catatan Illahi tetap tersimpan. Untuk dibuktikan, saatnya nanti. Tanpa drama lagi.

Malang, 8 Februari 2021

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun