Sinting. Inilah sekarang hidupku, jadi tak penting. Semua menjauh saat hidupku jadi puing. Sedihku sendiri, kurasa pening. Masa susah, terhimpit suasana genting. Tapi kenapa aku yang tertuding.
Kutemukan diriku sendiri. Sulit dijelaskan. Sulit dimengerti. Aku sendiri tak paham, apalagi orang lain. Apa pedulinya. Hanya orang aneh. Terasing.Â
Syukurlah yang miliki hidup indah. Saat kau pulang, disambut ceria. Saat kau jauh, dirindukan. Saat kau lapar, ada yang khawatir. Saat kau sedih, ada yang menghibur. Itu hidup normal. Hidup sebagai manusia.
Tapi aku. Datangku tak disambut. Pulangku, tak ada tempat. Saat ku hadir, malah disuruh pergi. Termenung tak diperhatikan lagi. Dibiarkan tanpa ditanggapi.Â
Kangen hidup kembali waras. Apa itu terlarang? Apa ada yang salah? Sudah tak dihargai, tapi dituntut ada bukti. Keadilan macam mana yang kuhadapi.
Hidup hanya sekali. Kesempatan tak dapat diulang lagi. Untuk apa semua ini. Kepuasan palsu tak berarti. Karena percaya sudah mati. Cinta sudah dikubur dalam bara api. Luluh lantak, tak bisa dibangun lagi. Lanjutkan semakin tersakiti. Lebih baik sudahi. Akhiri. Mulai berpasrah pada Takdir Illahi.
Malang, 2 Februari 2021
Oleh Eko Irawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H