Saya tertarik untuk menelisik lebih jauh tentang jaranan, berawal dari sebuah foto lawas ini, yaitu tentang Militer Belanda sedang menyaksikan pertunjukan kuda lumping di Dadapauam, dekat Salatiga, Jawa-Tengah, 8 Desember 1947 (Koleksi Nationaal Archief)
Di daerah Yogyakarta tari Kuda Lumping dinamakan Jathilan. Bahkan ada di daerah lain tari jathilan dengan nama Incling, ada pula yang memberi nama Kuda Kepang atau Jaran Kepang.
Sebenarnya apa sih makna dibalik dari tarian berproperti kuda ini? Konon, dimasa awal kemerdekaan, jaranan merupakan media latihan bela diri dan olah Kanuragan para pemuda.
Foto diatas menggambarkan, tentara Belanda sangat berminat menonton kesenian jaranan sebagai hiburan, dan para pemuda yang memainkan tarian jaranan, sebenarnya sedang berlatih olah Kanuragan.
Kamuflase yang cantik, sehingga kegiatan tersebut tidak dibubarkan oleh Pasukan Belanda Kala itu. Berikut mencoba menelisik makna jaranan, terinspirasi dari Tulisan Bapak M. Dwi Cahyono yang mengupas habis makna tersembunyi dibalik Tarian Jaranan. Tulisan ini menjadi artikel pertama dari rangkaian tulisan tentang jaranan. Semoga bermanfaat.
Kupas Makna Tarian Jaranan
Ada beragam istilah yang bersinonim arti dengan 'jaranan', antara lain 'jaranan kepang, kuda lumping, jatilan, dan sang hyang jaran'. Dari sebutan-sebutan itu, penekanan diberikan kepada 'jaran' atau 'kuda' sebagai gerak tokoh peran menjadi gerak tari. Sebenarnya, dalam peristilahan ini ada dua tokoh peran pada tarian ini, yaitu:
(1) kuda/jaran, dan
(2) pengendara/penunggang kuda, yang keduanya ditarikan oleh seorang penari. Tarian ini bukan merupakan tarian tunggal (solo), melainkan berupa tarian berkelompok, yang dilakukan oleh beberapa orang penari dengan gerak tari yang cenderung kompak dan seragam.
Secara toponomis, kata 'jaran' atau 'ajaran' adalah istilah yang berasal dari bahasa Jawa Kuna yang menunjuk kepada: kuda ('binatang terlatih').
Dalam tarian ini, gerak kuda yang distilisasikan bukan gerak liar dari 'kuda liar', melainkan gerak terkendali dari 'kuda terlatih'. Istilah ini menunjuk arti yang sama dengan 'kuda', atau secara khusus pada kata jadian 'akuda', dalam arti: mengendarai kuda, ada diatas punggung kuda, menunggang kuda, prajurit berkuda, kavaleri (tentara berkuda) (Zoetmulder, 1995:526). Istilah 'akuda' telah disebut di dalam Kakawin Ramayana (19.67), Arjunawiwaha (23.9), Hariwangsa (23.6), Baratayuddha (1.6) dan Smaradahana (33.3). Hal ini memberi petunjuk bahwa pasukan berkuda telah dikenal di Jawa setidaknya sejak abad IX Masehi.
Hal yang perlu diperhatikan adalah sebutan di Bali, yaitu 'sang hyang jaran' atau hanya disebut dengan 'sang hyang', yang memberi putunjuk bahwa tarian ini termasuk dalam kategori 'tarian sakral (ritual dance)'.