Hujan belum reda. Menunggu dalam renung. Yang remang. Kesedihan ini terlalu berat. Karena cinta sudah mati. Tak ada rindu. Tak mau melihatku gagal. Tak mau tahu.Â
Aku harus pulang. Tapi kau larang. Tak ada tempat lagi dihatimu. Karena aku sudah kau usir. Kau kembalikan pada asalku. Sendiri.
Tak ada canda. Bertemu jadi amarah. Tak terima gagalku. Tapi tak mau dukung langkahku. Ingin cepat. Ingin segera. Kilat. Tapi membuat aku semangat, no way.Â
Kau ingin aku kapok. Hina Dina. Dihadapan semua orang. Agar telanjang. Dan ditertawakan. Dituduh ini itu, sesuai ceritamu. Pembenaran dirimu. Bahwa akulah dalang laknat. Tapi kau tetap tuntut aku. Untuk idealnya hidupmu sendiri.
Seharusnya kau rayu aku. Bukan kau musuhi aku. Kau butuh aku, tapi kau ingin mengusir diriku. Kau menuntut aku, tapi kau menolak caraku. Maumu bukti, tapi tak mau tahu lelah kesahku.
Keputusan. Itu wajib. Agar kita tak tersiksa. Dipaksa bersatu, akan habis semua asa. Merusak hidup. Menyiksa jiwa. Saatnya berpisah. Untuk takdir masing masing.
Ini bukan tentang kalah atau menang. Bukan salah atau benar. Tapi ini bicara solusi. Bukan bicara balas berbalas dendam. Hasilnya sengsara.Â
Masih ada kuncup yang akan mekar. Belajarlah percaya. Hanya untuk sementara. Gelap mata hanya bikin duka. Menolak berkah yang akan tiba. Tak perlu putus asa. Mari berpikir dewasa. Saatnya sakit diakhiri. Mengikuti jalan Illahi.
Malang, 29 Januari 2021
Oleh Eko Irawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H