Tak bisakah dimengerti. Tak butuh banyak. Hanya keridhoanmu. Agar kemudahan jadi milik kita. Karena Tuhan melihat. Apa dihatimu. Apa yang kau ucapkan. Apa yang kau perbuat. Sudah lupakan yang kemarin?
Jalan beda tujuan. Kau dendam padaku. Agar aku kapok dan kau puas. Agar memperoleh pembenaran. Semua orang. Dan apa yang terjadi sekarang, jadi karma. Seolah akulah penyebabnya. Tapi aku siapa?
Kemana hatimu? Melihatku saja kau sudah benci. Tapi kau tuntut aku. Minta bukti. Sesuatu yang sudah tak mampu kupenuhi. Tanpa kau introspeksi. Sikat dan pukul terus. Siapa yang mengajarimu?
Saat terusir pergi. Tak pedulikan aku lagi. Dapatpun tak pernah disyukuri. Kurang dan terus kurang. Apalagi tak ada. Memang uang tinggal keruk dipinggir jalan?
Aku sudah tidak dihargai lagi. Kau lupa, setelah tak butuh aku lagi. Caramu sadis. Orang yang sudah tidak diakui. Terusir setelah dihabisi. Untuk membela siapa kau Setega ini?
Sadarilah, tapi kau sudah tak Sudi. Bagimu, aku penghalang bahagiamu. Aku sang pengganggu. Tapi kau butuh aku cukupi. Sementara aku tersakiti dijalanan. Terhina dan terus cari hutangan. Untukmu. Tapi bukan kau semangati aku, malah kau jatuhkan mentalku. Waraskah caramu ini?
Kisah cinta yang telah mati. Semua serba salah. Lumpuh. Tak berdaya. Yang ada dendam, minta bukti dan sudah tidak berperasaan lagi. Â Untuk apa ini semua? Tak cocok yang dipaksa paksa.
Saat terusir pergi. Tak dibutuhkan lagi. Harga mati, ancaman untuk cukupi, tapi tak dilayani. Sudah tak ada rasa lagi. Ada atau pergi. Tanpa bukti, dihabisi.
Malang, 28 Januari 2021
Oleh Eko Irawan
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI