Semesta bercerita. Dari lembar daun daun. Hijau. Disela sela tetes air. Merekam kisah. Hidup disekitarnya. Tanpa drama.
Melihatmu tegar. Tumbuh didinding tua. Akarmu rapuh. Tetap menatap langit. Dalam hujan badai barusan.
Cerita daun dan tetes air. Tangis langit tentang hidup. Romantisme yang hanyut. Dalam romansa sepi. Tentang sendiri.
Aku sakit. Aku butuh kekasih. Yang mau menerimaku. Tapi kapan dia datang. Untuk sembuhkan aku. Tanpanya aku hampa.
Sesungguhnya aku sudah tak mampu. Hidup khayal seperti ini. Hari hari hanya bersama bayangmu. Terekam dalam daun daun. Luruh bersama tetes air. Aku sakit sayangku.
Sesibuk diriku, hingga lelah fisikku. Tetap saja jiwa ini terluka. Bukan sembuh, tapi aku semakin parah. Berteman kata kata. Dalam panggung puisi bisu.
Bicara dalam semu. Berteman tak ada. Bicara sendiri, dalam curhat beku. Aku butuh cintamu. Yang nyata. Bukan bayangmu yang tak ada.
Cerita daun daun. Sepi. Tetes air yang menangis. Sendiri. Malu aku. Tapi tak bisa pergi. Aku menunggumu. Tapi kau tak datang. Terjebak dalam asa kosong. Harap yang pupus. Lirih bersama angin. Dalam tajuk yang tak pernah berakhir. Hanya menunggu waktu membunuhku, tanpa bisa bersamamu.
Malang, 26 Januari 2021
Oleh Eko Irawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H