Seharusnya bukan aku. Atau seisi rumah ini. Yang wajib menanggung akibat. Dari Rencana jahatmu. Perbuatan sihirmu. Itu kelakuan binatang bejat. Tapi kenapa kau berbuat, orang lain menanggungnya?
Tak harus menanggung rasa demi sihirmu. Kau sudah ambil hak orang lain. Dengan alasan cinta. Tapi didepanku, kau dusta. Di belakang ku bicara busuk. Tertawa kemenangan ngakak, berhasil menipuku. Merebut hakku. Menikmati bahagia surga dunia. Dan Allah tahu bejatmu.
Tapi kau lempar batu sembunyi tangan. Itu sudah merek sihirmu. Itukah lelaki gentelment? Sang dewa penolong, main belakang seperti binatang? Hebat nian, tapi kau yang dipuja puja. Karena sihirmu memutar balik fakta.
Sekarang kau menguasai. Seolah Tuhan. Kau sudah melampauinya. Dan kau tempatkan orang lain sebagai tersangka. Korban dustamu yang menanggung akibat. Skenario hebat dari otak busukmu. Mulia nian perbuatanmu.
Aku tak membalas. Karena balasanku hanya kuasa manusia. Saat keadilan bicara, kau mau apa. Itu Urusanmu dengan Allah.
Aku tak marah. Aku Ikhlas. Aku relakan dirimu dengan skenario sihirmu. Dalil dalil perusak otak. Pembunuh masa depan. Agar kamu puas, dan orang lain menderita. Tertawalah wahai setan jalang, bertopeng arjunamu. Harusnya kamu. Tapi kami kena getahnya. Rencanamu sungguh mulia. Membuat semua terlantar dan hina. Adilkah?
Gusti Allah mboten Sare. Nyekseni polahmu. Sumonggo nrami keadilan. Buah tangis liyan.Â
Malang, 23 Januari 2021
Oleh Eko Irawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H