Kenapa masih juga tak dipercaya. Ini tentang harga diri. Aku sudah cukup terhina. Karena ditunda tunda. Semakin lama, semakin jatuh. Apa aku hanya tontonan?
Bahagia yang terlarang. Itu sudah jatah harian. Sejakku kecil. Kenapa tak ditata sebelum terlambat. Padahal bisa, padahal mampu ada. Tapi kenapa kau sembunyikan dalam dusta.
Hidup sekali, dipenjara larangan. Dibatasi takut dan kekhawatiran. Banyak pertimbangan, banyak alasan. Yang lain sudah merdeka, disini masih sibuk cari utangan. Cari penghidupan.Â
Kenapa mempersulit, padahal hidup sudah pahit. Bagai anak ayam kelaparan, padahal tinggal digudang harta kekayaan. Apa yang lebih dipertahankan. Semua ini hanya titipan. Kenapa tak dipergunakan.
Aku sudah bosan. Aku sudah jenuh. Setiap hari dalam kesulitan. Tiap hari dalam kekurangan. Terus bertambah memikul beban. Luntang Lantung hidup tanpa tujuan.
Duhai hidup. Tak adakah sedikit bahagia untukku? Aku ingin memilikinya. Walau sesederhana mungkin.Â
Apa ini sudah adil. Padahal itu hakku sendiri. Sabar mana lagi yang harus kutunjukan.
Ujian hidup. Bahagia yang terlarang. Hanya satu petisi. Ini dzolim. Seolah aku yang laknat. Padahal ini tak dibawa mati. Kenapa terlarang menikmati.
Tertunda, akan Mati sia sia. Ditertawakan semesta. Sebagai orang bodoh tak berguna. Diberi amanah untuk sarana. Tongkat estafet harus segera dibawa. Agar obor terang, segera menyala.Â
Semoga ada keajaiban. Agar ini indah pada waktunya. Jangan ditunda lagi. Cobalah mengerti. Hidup memilih. Jika ada jalan mudah, kenapa memilih jalan susah.Â
Butuh itu sekarang, bukan nunggu masuk jurang. Inilah balada orang orang dungu. Suka menunda dan menunggu. Hanya tumbal tontonan palsu. Baru bergerak setelah diketok palu. Sungguh drama yang tidak lucu. Menyiksa hidup anak cucu.