Aku bukan kumbang. Yang hisap madumu. Lalu pergi. Karena aku tak akan begitu.Â
Hidup terlalu berharga untuk dibuat drama. Ini hidup kita sendiri. Kita yang jalani. Kita yang punya. Kita yang hadapi.
Bagi mereka, aku kumbang. Mungkin buaya. Mungkin mata keranjang. Mungkin hidung belang. kudengar dikatai, "anake wong gendheng. Anake wong stress. Anake wong edan. Ra waras."
Kuusap jantung ini. Kemarahan hanya menunjukan kebodohanku. Benar adanya, rumahku bertumpuk ranting. Kotor. Seperti kerajaan pemulung. Bahkan bambu bambu bau, bekas kandang penuh kotoran ayam. Berserak. Jijik. Dan kumuh.
Dikiranya aku akan membawamu kesana. Dikira aku akan menyesengsarakan dirimu. Dikira aku anak bawang yang bodoh. Tak punya perasaan. Jahat. Tak punya status. Anak orang sinting.
Siapa yang kau percaya kasihku. Akupun sedih dikatai seperti itu. Sakit. Apalagi kau ikut ikutan mentertawai aku. Seolah maha benar tetangga, atas segala penilaiannya.Â
Aku padamu dalam bahasa cinta. Dalam bahasa kasih. Kusampaikan padamu dengan tulus. Silahkan nilai sendiri. Aku bukan kumbang. Aku bukan hewan sekebun binatang.
Aku membawa amanat suci. Bersamamu aku bisa. Bersamamu aku tangguh. Tanpamu aku sia sia. Akan jadi seperti apa kata tetangga.
Kuberjuang untukmu. Aku terus maju, tak sekedar nekad. Jika aku mundur, bertepuk tanganlah semua tetangga. Bully mereka sukses. Mereka akan memperoleh pembenaran. Jika aku adalah sang penipu. Sang kumbang jahat, yang pergi setelah mereguk nikmat.
Kutahu hasil tak akan ingkari perjuangan. Lelahku tulus ikhlas. Keringatku untuk memberimu senyum. Ini bukan tentang aku sendiri, tapi Kita saling butuh. Kita telah ada dalam takdir terindah. Agar aku bersamamu.
Balada kumbang. Yang tak muda lagi. Sama pernah luka. Sama pernah tersakiti. Saatnya hidup dihargai. Bersama dalam cerita baru. Tentang bahagia denganmu.