Dulu bahagia, melihat batas kotanya. 22 tahun menyusuri kisahnya. Memandang asa, bersamamu. Namun sekarang. Itu jadi kisah sedih. Perih. Dan luka luka yang sakit.
Kisah yang mungkin sudah kau lupakan. Cerita itu. Sore itu. Entah mengapa sekarang, seolah paksaan. Setingan. Drama. Tak mengerti, kenapa awal yang kau masalahkan.
Sesalmu yang telah larut. Mungkin hanya sebuah alasan. Agar itu jadi pembenaran. Tentang jodoh yang habis. Tentang perbedaan. Yang tak bisa diurai lagi. Kusut, seperti benang ruwet. Tak ada ujung, tak ada akhir.Â
Kenapa tak kau usir saja aku dulu. Jika itu masalahmu. Sebelum aku jauh. Kursi kayu hijau itu saksinya. Sayang dia bisu. Tak bisa bercerita. Tentang tulusku.
Sekarang hanya sakit dan luka yang semakin parah. Kau hadirkan sejuta bukti. Sejuta rasa. Fakta dalam tafsiranmu. Memojokan aku. Diujung derita. Kau pukuli semangatku. Hingga adapun jatuh. Jadi bodoh. Tak tahu arah.
Kemana cintamu. Saat aku hanya punya sebungkus tolak angin. Tapi kau terima aku apa adanya. Â Hidup sederhana. Dalam rumah tua. Syukur dalam doa, indah dalam nuansa. Bersamamu dulu.
Kita memang sama salah. Cinta memang perlu dirawat. Lihatlah dulu kenapa. Bagaimana. Jangan asal pukul terus. Jangan prasangka, semua bisa dibicarakan dengan cinta.
Namun tumpukan batu sudah menggunung. Menjadi beban yang dipikul setiap waktu. Lama lama runtuh. Oleh bisikan. Agar balas dan balas terus. Agar dendam dan terus dendam.
Cinta pudar berbalas dendam. Yang telah baik, buang. Yang buruk disimpan. Terus diawetkan. Dalam kepalamu. Sebagai dalil dan dalih. Pembenaran sepihak. Agar sah diakui langit. Entah langit yang mana.
Maafku sudah tak berguna. Pertobatan hanya seremoni belaka. Janji suci sudah dilumuri dusta. Bincang pun hanya menambah luka, omong kosong, memeluk api pertengkaran. Tanpa solusi. Tersesat jauh tanpa berkah.
Semua sudah jelas. Ceritamu sudah dipahami. Cerita yang menyakitkan hati. Menohok harga diri. Orang orang yang empati padamu. Orang yang sekarang akan terusir. Dari tanah hidupnya.