Malam ini dingin. Kita bincang beku. Soal uang. Soal kebutuhan. Kurang. Tak tercukupi. Bertabur hutang. Tagihan. Hari hari cari pinjaman. Tak sebanding pemasukan.
Purnama bulan Desember. Terlihat ragu. Tertutup kabut. Disela sela taman. Tak ceria seperti bulan bulan lalu.
Kita memang telah jatuh. Pertengkaran kita bagai kabut. Yang menutup sinar rembulan. Jadi sulit. Jadi pedih. Tak berarti lagi semua lelah. Karena bahagia ditakar dengan berapa rupiah hasilmu hari ini.
Selalu saja kurang. Kurang. Dan kurang. Ikhlas sudah terbuang bersama sabar. Yang hadir tuntutan. Syukur diganti amarah. Tak terima berbuah ancaman. Sungguh aneh rumah dalam bara dendam.
Purnama bulan Desember. Tak indah lagi. Tak ada syahdu. Tak ada sendu. Yang ada hanya tangis luka. Tentang pengkhianatan. Sia sia hidup dalam akhir pilihan. Tuntutan keegoisan. Saat menuju persimpangan.
Tak mungkin dipertahankan. Kau telah tukarkan diriku. Dengan pembenaran. Bahwa dia sang purnama malam. Sang mentari pagi. Dia lebih baik dariku. Sempurna. Sang dewa pujaan.Â
Pergi saja sama dia. keadilan Allah akan jadi bukti nyata. Siapa yang benar. Siapa yang bangsat. Apapun nanti, Nikmatilah dengan bangga.
Dipersimpangan nanti, Kitakan berpisah. Pergilah dengan sang dewa asmaramu. Itu pilihanmu. Aku mengikhlaskanmu.Â
Akupun akan pergi. Bersama muram purnama berkabut. Luka ini kan kusimpan. Kan kubawa hingga keadilan datang. Kebenaran akan ditegakkan. Dan saat itu tiba, aku sudah bukan milikmu lagi.Â
Aku bukan menyakitimu, aku bukan menakutimu, tapi saat kebenaran tiba, itu nanti. Dan nikmat apa lagi yang kau dustakan.
Purnama bulan Desember. Menghitung hari demi hari, mundur menuju akhir.sebuah keputusan. Saat kita akan berpisah. Selamat tinggal kenangan. Semoga kau bahagia.