Hujan baru saja usai. Saat air menggenang di tanah basah. Segar. Alami. Di antara tiupan Sepoi. Semilir disela sela ranting.Â
Jejak kaki berlumpur. Menapak tanah basah. Membekas. Tapi aku tak mengeluh. Karena krenteg ati, membuatku nyaman. Di sini bersama angan.Â
Banyak rencana kugagas disini. Tentang perubahan. Saatnya aku apa adanya, tanpa topeng. Biarkan berlumpur kakiku. Biarkan basah tubuhku. Asal aku punya tempat. Asal ada ruang. Buatku menatap ke depan. Untuk berbuat baik, tanpa kemunafikan.
Jalan panjang telah kulalui. Panas hujan kuterobos tanpa henti. Saatnya menepi. Melihat kembali, menilai dan menenangkan hati.
Aku lelah dituduh bertopeng. Aku ini apa adanya. Aku hanya ingin bernafas. Menghirup segarnya udara. Tanpa curiga. Tanpa dituduh sutradara. Aku tak punya kuasa. Hanya terbawa. Dalam kepasrahan. Disini. Ditempat ini.
Perjuangan belum usai. Ini baru mulai. Saatnya berbenah lagi. Menata sisa hidup, untuk berbakti.
Semoga bisa dimengerti. Aku sudah lelah tak dihargai. Dituduh dan difitnah, menyakitkan hati. Aku korban yang dikhianati.
Disini ditempat ini. Tanpa topeng lagi. Tak menuntut harus dilayani. Biarkan aku sendiri, menata krenteg ati.
Tlatah Bumi Slilir, 10 Desember 2020
Oleh Eko Irawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H