Mantra. Digdaya. Tanpa tanding. Tapi itu dahulu. Karena sang pewaris, tak bisa membacanya. Bukan karena ditulis dalam Palawa. Bukan huruf aksara Jawa. Bukan Arab Tanpa harokat. Tapi mantra kosong tanpa huruf.
Buku itu kosong. Hampa. Tapi bisa dibaca. Karena mantra bukan dituangkan disana. Dia ada dihati. Itulah sastra tanpa aksara.
Untuk dapatkannya dia dalam samsara. Jalan jauh menuju pesan guru. Puasa aneh hidup sengsara. Menyiksa diri untuk sebuah mantra.
Itulah yang dijaga. Makna hidup bukan rebahan. Tapi direbut dengan kata juang. Semangat membara. Seperti Agni, tapi kalem semilir seperti Bayu. Kokoh laksana gunung. Tapi sejuk seperti Tirta.
Jadilah samudra. Tempat bertanya. Indah dipandang, menenangkan pikir. Tapi Kokoh tanpa tanding. Itulah manta kosong tanpa tulis. Hilang tapi tetap ada. Tetap kuat ditengah badai.
Bismillah dengan IjinNya. Berjuang bersama doa. Melangkah yakin membuat karya. Memberi manfaat dan bukti nyata. Jadilah mantra. Temukan digdaya.Â
Oleh : Eko Irawan, Malang, 4 November 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H