Bukan jalannya kurang luas. Bukan pengendaranya tambah banyak. Tapi... Ini mau kemana? Semua ingin cepat. Menuju tujuan. Menuju kemana? Kemana Menuju?
Tapi aku tetap disini. Tak bergerak. Diam. Mematung. Aku tak kemana. Karena tujuanku sirna. Aku hanya sendiri. Tafakur merenung makna. Karena surgaku dirampok durjana.
Kau minta bukti. Katamu aku janji. Puluhan tahun berjuang setengah mati. Untukmu. Tapi seenaknya kau khianati.Â
Kau buat pembenaran. Seolah aku sutradara. Kau hapus semua yang mulia. Demi dia, sang surga, yang ngaku ahli ibadah melalui W A. Yang hanya pandai menyebutmu bunda. Mengingatkan waktu sholat tiba. Tapi perbuatannya hina. Itukah imam yang akan mengantarmu nanti? Yang merebut cinta suci? Yang mengotori tahta harga diri?
Aku terima keputusanmu. Toh itu hidupmu. Ekspektasimu. Kau bilang akan menuntut aku diakhirat nanti. Tapi apa Tuhan akan diam tanpa keadilan?Â
Akupun akan tetap diam. Tak akan menuju kemana. Tak akan ikut ikutan tanpa makna. Biar puas. Biar lega. Karena bukan aku sutradaranya.
Jalanan ini masih mengular. Kudiam menunggu longgar. Mari kita lihat siapa yang laknat. Aku terima saja, sekalipun bukan aku penyebabnya. Silahkan menafsirkan sendiri. Salahku satu, kau balas berapa? Puas?Â
Aku tunggu sepi. Aku akan berjalan lagi. Menyusuri jalanan ini. Menuju bukti. Diujung sana. Saat kebenaran ditegaskan, dan kau kembali mencariku, tapi itu sudah terlambat. Karena kau pilih dia, bukan aku lagi. Dan saatnya dia yang kau tuntut, dan aku sudah tidak tanggung jawab lagi. Sakit ini tidak bisa ditebus dengan kata maaf lagi. Itu kelak, saat bukti bicara hakiki.
Selamat jalan Angkara murka. Itu pilihanmu sekarang. Soal Nanti urusan Illahi. Selamat menikmati. Inilah sajak Curhat Tersakiti.
Malang, 28 November 2020
Oleh Eko Irawan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H